Page 39 - 60/20
P. 39

THE 60/20 ANNIVERSARY: FULBRIGHT AND AMINEF IN INDONESIA                                        39

/ PERINGATAN ULANG TAHUN KE 60/20:
FULBRIGHT DAN AMINEF DI INDONESIA /

Program Fulbright di Indonesia diluncurkan pada tahun 1952 ketika Hassan Shadily dan
Mh. Rustandi Kartakusuma menjadi orang Indonesia pertama yang melakukan perjalanan ke
Amerika Serikat sebagai penerima beasiswa Fulbright. Mereka diikuti oleh H. Agus Salim pada
tahun 1953, seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang merupakan menteri luar negeri ketiga
Republik Indonesia. Hassan Shadily memperoleh gelar master di bidang sosiologi di Universitas
Cornell pada tahun 1955, sementara Rustandi Kartakusuma mengajar sastra Indonesia sebagai
dosen Fulbright di Universitas Yale. Agus Salim mengajar tentang Islam dan nasionalisme
Indonesia di Universitas Cornell sebagai Fulbright Scholar-in-Residence (FSIR). Para peserta
pertama Fulbright ini menjadi tolok ukur prestasi akademik dan profesional yang tinggi bagi
para akademisi Fulbright dari Indonesia yang telah bertahan selama 60 tahun.

Pemilihan waktu keberangkatan para penerima beasiswa Fulbright Indonesia pertama tersebut
ke Amerika Serikat sangatlah tepat. Keahlian mereka diterima dan dihargai sekali, karena minat
akademis terhadap Asia Tenggara dan Indonesia sedang berkembang pesat di saat bahan-
bahan kajian mengenai Indonesia pada umumnya tersimpan di Universitas Leiden di Belanda.
Di Universitas Cornell, Program Asia Tenggara baru terbentuk dan dijalankan di tahun 1951
di bawah kepemimpinan George McT. Kahin. Profesor Kahin, yang juga mendirikan Proyek
Indonesia Modern di Universitas Cornell tahun 1954, secara aktif mengusahakan kedatangan
para akademisi dan mahasiswa Indonesia ke Amerika Serikat untuk mendukung pengembangan
kajian Indonesia. Pada tahun 1991, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menganugerahi Profesor
Kahin, yang juga alumnus Fulbright, Bintang Jasa Pertama dari Republik Indonesia atas jasa-
jasanya sebagai “pelopor dan perintis jalan berdirinya kajian Indonesia di Amerika Serikat.”

Sementara berkuliah untuk mengambil gelar masternya, Hassan Shadily mulai bekerja dengan
Profesor John Echols dari Universitas Cornell untuk menyusun Kamus Bahasa Indonesia-Inggris
yang sangat diperlukan (Cornell University Press, 1963), yang menyebabkan nama Echols
dan Shadily dikenal luas di kalangan generasi mahasiswa dan akademisi kajian Indonesia,
mahasiswa dan akademisi Indonesia yang belajar bahasa Inggris, demikian pula di kalangan
para diplomat, profesional, kalangan bisnis dan setiap penutur bahasa Inggris atau bahasa
Indonesia yang belajar atau tinggal di Indonesia atau Amerika Serikat.
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44