Ramadan di Athens, Ohio: Sunyi, Syahdu, dan Hangatnya Kebersamaan di Negeri Paman Sam

Muhammad Arif adalah penerima beasiswa Fulbright Foreign Language Teaching Assistant (FLTA) Program di Ohio University-Main Campus, tahun keberangkatan 2024.

Saya, Muhammad Arif, berasal dari Demak, Jawa Tengah, dan saat ini sedang menjalankan tugas sebagai pengajar bahasa Indonesia di Universitas Ohio melalui program Fulbright FLTA (Foreign Language Teaching Assistance). Saat ini, saya telah memasuki bulan ketujuh tinggal di Athens, sebuah kota pelajar di negara bagian Ohio, Amerika Serikat. Menghabiskan Ramadan di Athens tentu menjadi pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan menjalankan ibadah puasa di tanah air. Ada banyak kontras yang saya rasakan, tetapi juga banyak kehangatan yang membuat Ramadan tetap bermakna meskipun jauh dari keluarga dan kampung halaman.

Kontras Ramadan di Athens dan Indonesia

Ramadan kali ini bertepatan dengan musim semi, yang berarti cuaca di Athens cukup sejuk—tidak terlalu panas maupun terlalu dingin. Musim semi adalah musim yang sangat disukai oleh penduduk lokal dan internasional karena memberikan suhu yang nyaman untuk beraktivitas. Namun, pada minggu pertama Ramadan, suhu di Athens sempat mencapai 1 derajat Celsius, bahkan beberapa kali turun salju, sesuatu yang tentu tidak pernah saya alami saat berpuasa di Indonesia.

Suasana Ramadan di Athens terasa sangat sunyi jika dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia. Di tanah air, gema azan dan lantunan tadarus Al-Qur’an dari masjid-masjid saling bersahutan, menciptakan atmosfer religius yang khas. Namun, di Athens, Ramadan berjalan dengan lebih tenang. Kota ini hanya memiliki satu masjid, yaitu Islamic Center of Athens (ICA), yang menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi komunitas Muslim setempat. Berbeda dengan Indonesia, di mana setiap desa memiliki beberapa masjid dan musala, ICA menjadi satu-satunya tempat berkumpul bagi umat Muslim, bahkan menarik jamaah dari kota-kota tetangga yang ingin melaksanakan ibadah bersama. Tidak ada warung takjil atau pedagang kaki lima yang menjajakan makanan khas berbuka seperti gorengan dan kolak di sepanjang jalan, sesuatu yang sangat dirindukan oleh saya dan teman-teman Muslim Indonesia lainnya.

Durasi Puasa dan Fenomena Daylight Saving

Secara durasi, puasa di Athens tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yakni sekitar 13 jam. Namun, ada fenomena unik yang disebut Daylight Saving Time (DST), yang membuat perubahan waktu di tengah bulan Ramadan. Daylight saving adalah sistem penyesuaian waktu di mana jam dimajukan satu jam ke depan saat musim semi untuk memaksimalkan penggunaan sinar matahari. Akibatnya, jadwal salat juga ikut berubah. Pada minggu pertama Ramadan, waktu Subuh dimulai pukul 05.47 dan Magrib pukul 18.21, yang masih cukup mirip dengan Indonesia. Namun, setelah penerapan daylight saving, waktu Subuh bergeser menjadi pukul 06.35, sementara Magrib bergeser ke pukul 19.30, sehingga secara psikologis, durasi puasa terasa lebih panjang dari biasanya.

Kegiatan Ramadan di Athens: Merajut Kebersamaan di Perantauan

Meskipun jauh dari keluarga, menjalani Ramadan di Athens tetap memberikan pengalaman spiritual yang mendalam. Antusiasme komunitas Muslim, baik lokal maupun internasional, sangat tinggi dalam menyambut bulan suci ini. Di tengah kesibukan jadwal kuliah yang padat, saya dan teman-teman tetap berusaha untuk menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk salat berjamaah di ICA.

Setiap Jumat dan Sabtu, ICA mengadakan buka puasa bersama. Tradisinya, kami berbuka dengan kurma dan air putih, kemudian menikmati hidangan pembuka yang dibawa oleh jamaah lain, seperti bakwan, pasta, sup, dan jus. Setelah salat Magrib, barulah kami menyantap hidangan utama berupa nasi basmati dengan daging atau ayam khas Timur Tengah. Ada satu hal yang menarik setelah makan bersama, yaitu konsep “gotong royong” yang diterapkan dalam membersihkan piring, membuang sampah, memvakum, serta merapikan ruangan untuk persiapan salat Isya dan Tarawih.

Selain itu, kegiatan tadarus Al-Qur’an diadakan setiap Sabtu dan Minggu setelah salat Asar, serta halaqah tahsin sebelum berbuka puasa. Di sepuluh malam terakhir Ramadan, komunitas Muslim di ICA juga mengadakan salat Lailatul Qadar berjamaah. Kebersamaan inilah yang membuat Ramadan di Athens tetap terasa hangat meskipun jauh dari kampung halaman.

Peran Transportasi Kampus dalam Ramadan Saya

Mobilitas menuju ICA juga menjadi bagian dari rutinitas Ramadan saya. Setiap sore, saya berangkat ke masjid sekitar pukul 17.15 menggunakan Blue Loop, transportasi kampus, kemudian berjalan kaki sekitar tujuh menit untuk mencapai ICA. Setelah rangkaian buka puasa dan salat Tarawih, saya biasanya pulang sekitar pukul 22.00 dengan CATS, mobil antar-jemput kampus yang memudahkan saya kembali ke apartemen dengan nyaman.

Hangatnya Kebersamaan Sesama Perantau

Salah satu hal yang membuat Ramadan di Athens semakin berkesan adalah kehangatan kebersamaan dengan sesama mahasiswa dan pekerja dari Indonesia. Kami mengadakan buka puasa bersama, memasak hidangan khas tanah air seperti rendang, ikan asin, ayam geprek, dan es campur. Momen-momen ini tidak hanya menjadi ajang untuk menikmati masakan Indonesia yang kami rindukan, tetapi juga mempererat tali silaturahmi di perantauan.

Meskipun berada jauh dari keluarga dan suasana Ramadan di Indonesia yang meriah, saya tetap bersyukur karena bisa merasakan kebersamaan dengan komunitas Muslim di Athens. Ramadan di sini mengajarkan saya tentang bagaimana menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan di lingkungan yang berbeda. Athens mungkin tidak memiliki gegap gempita Ramadan seperti di Indonesia, tetapi di sinilah saya menemukan makna spiritual yang lebih dalam dalam menjalani bulan suci ini

WordPress Video Lightbox