Pakar kajian budaya Melani Budianta memandang bahwa karya sastra berperan besar dalam membentuk kesadaran sejarah dan empati sosial.
”History was like an old house at night. With all the lamps lit. And ancestor whispering inside. To understand history, we have to go inside and listen to what they’re saying.”
Kutipan dalam novel The God of Small Thing karya novelis dan aktivis asal India, Arundhati Roy, tersebut dipilih dan dibacakan oleh Melani Budianta saat ditanya salah satu karya sastra yang paling ia sukai. Novel keluaran tahun 1997 yang menerima penghargaan Booker Prize ini menyoroti tentang cinta, diskriminasi pendidikan, hingga ketidaksetaraan kelas sosial.
”Dalam cerita The God of Small Things, sejarah dibayangkan seperti rumah yang ditinggalkan saat malam. Untuk memahami sejarah, kita harus bisa masuk ke dalamnya dan benar-benar mendengarkan apa yang disuarakan oleh orang-orang dalam sejarah tersebut,” ujarnya saat berbincang di Kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Sebagai akademisi dengan latar belakang ilmu kesusastraan, Melani kerap menyelipkan beberapa karya sastra sebagai jembatan untuk menyampaikan pandangannya. Bahkan, karya sastra juga digunakan sebagai alat untuk menyinggung penguasa yang tidak memperhatikan dan mengabaikan suara-suara dari korban atau pihak yang tertindas.
Bagi Melani, sastra membuka imajinasi yang membawa kita keluar dari rutinitas sehari-hari dan memperluas pandangan ke berbagai dunia. Sastra memiliki keunggulan dalam melihat sesuatu secara holistik. Sastra tidak hanya mengasah nalar, tetapi juga membangun empati.
Ketika kecil, Melani pernah membaca novel klasik tentang kehidupan para budak di Amerika Serikat pada abad ke-19, Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe. Novel itu membuat Melani bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi budak. Padahal, ia berasal dari kelas menengah dan tidak punya pengalaman tertindas.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta
Lewat novel klasik yang diterbitkan pertama kali pada 1852 tersebut, Melani juga dapat memahami dan merasakan penderitaan seorang ayah yang anak-anaknya dijual paksa. Dari pengalaman membaca karya sastra inilah akhirnya tumbuh empati yang mendalam.
Tak hanya menumbuhkan empati, banyak sekali hal yang bisa ditawarkan oleh sastra mulai dari pembentukan karakter pribadi hingga membangun nasionalisme dan narasi kebangsaan. Kita bisa memahami Indonesia yang majemuk dan beragam lewat berbagai karya sastra, seperti novel, puisi, komik, film, pertunjukan, dan pameran visual.
”Lewat karya-karya seperti itu, kita bisa mengenal keragaman Indonesia. Dari pengenalan itu, lahir empati. Dari empati, tumbuh rasa solidaritas. Kemudian dari solidaritas itulah kita bisa merajut kebersamaan sebagai satu bangsa,” tutur Melani.
Mengutip Benedict Anderson dalam buku Imagined Community, Melani menyebut bahwa bangsa adalah sesuatu yang diimajinasikan bersama. Proses mengimajinasikan bangsa itu bisa dibantu oleh sastra. Rasa kebersamaan sebagai satu bangsa ini bisa dibangun lewat surat kabar atau karya-karya yang menceritakan kehidupan di berbagai pelosok negeri.
Selain itu, sastra juga dapat menjadi alat kritik sosial. Melalui sastra, kita bisa menyuarakan ketidakadilan atau hal-hal yang dianggap keliru. Pendekatan sastra memungkinkan kita menyampaikan kritik dengan cara yang reflektif, menyentuh, dan membangkitkan kesadaran.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta
”Sastra juga membantu kita memahami sejarah, tetapi dari sudut pandang yang sangat personal. Ini penting untuk membangun memori kolektif. Terkadang, hal-hal yang tidak tercatat dalam buku sejarah bisa hidup dalam karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra berperan besar dalam membentuk kesadaran sejarah dan empati sosial,” ucapnya.
Perempuan dalam sastra
Selama ini, Melani dikenal sebagai akademisi yang banyak berkecimpung dalam kajian jender, khususnya perempuan. Perempuan dalam sastra penting untuk dibicarakan karena sampai sekarang relasi kuasa berbasis jender masih sangat kuat.
Melani memandang masih banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam bentuk pembedaan peran, penggajian, maupun dalam norma-norma sosial dan budaya. Kekerasan terhadap perempuan pun masih tinggi dan ini menjadi isu penting yang harus terus diangkat bukan hanya oleh penulis perempuan, melainkan juga penulis laki-laki.
”Dari segi partisipasi, saya kira perempuan Indonesia saat ini sudah cukup aktif menulis dan mengekspresikan diri. Akan tetapi, di sisi lain, kesadaran akan isu jender, terutama soal relasi kuasa, masih harus terus dibahas,” ungkapnya.
Relasi kuasa berbasis jender kerap memberikan dan menetapkan batasan yang boleh ataupun tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Konstruksi sosial ini perlu terus dikritisi dan dipertanyakan, termasuk dalam ranah spiritual atau agama dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh di bidang sains, perempuan cenderung tidak banyak terlibat di area tertentu.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta saat menerima penghargaan BRIN Sarwono Award 2023 di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, 23 Agustus 2023.
Refleksi ini juga bisa dilihat dalam hubungan rumah tangga seperti soal pembagian peran antara suami dan istri. Dalam hubungan rumah tangga tidak seharusnya hanya satu pihak yang mengatur. Baik suami maupun istri memiliki tugas dan kewajiban yang sama.
Ke depan, Melani berharap banyak orang dari berbagai latar belakang terpanggil untuk menulis serta merefleksikan secara kritis relasi kuasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, relasi kuasa bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya oleh laki-laki terhadap perempuan. Perempuan juga bisa menginternalisasi nilai-nilai patriarki tanpa sadar.
Semua pihak juga perlu menyadari bahwa isu jender dan kekerasan berbasis jender bukan hanya urusan perempuan atau laki-laki saja. Ini adalah persoalan bersama karena kualitas hidup semua warga, terutama mereka yang termarjinalkan seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas, merupakan cerminan suatu bangsa.
”Kalau kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat, maka kita harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak warga, terutama hak untuk berekspresi dan hidup tanpa rasa takut. Jangan sampai seseorang diteror hanya karena identitas yang berbeda. Sebab, kekerasan seperti ini dampaknya paling besar dirasakan oleh mereka yang paling rentan,” kata Melani.
Budaya literasi
Di tengah beragam perbincangan tentang perkembangan sastra Indonesia, Melani memberikan pandangan yang optimistis sekaligus reflektif. Baginya, sastra Indonesia saat ini bukan sedang mengalami kemunduran, melainkan berkembang semakin kaya dan beragam dengan hadirnya sastra anak, sastra fiksi ilmiah, hingga sastra digital.
Namun, perkembangan karya sastra ini juga harus diiringi dengan peningkatan budaya literasi yang kuat di masyarakat. Sebab, tantangan utama perkembangan sastra bukanlah kekurangan karya, melainkan minimnya pembaca yang aktif dan reflektif.
Melani meyakini bahwa literasi yang tinggi akan mendorong lahirnya pembaca-pembaca yang aktif. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga membagikan pengalamannya, menulis ulasan, dan menjadi kritikus. Ini semua adalah bagian penting dalam membangun ekosistem sastra yang hidup dan berkelanjutan.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta (kanan) memeluk filsuf dan astronom Karlina Supelli (tengah) dalam peluncuran buku berjudul “Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia” di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, 13 Mei 2023.
”Kita tidak melihat sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak dimensi, termasuk dimensi kekuasaan. Maka, kita juga butuh orang-orang yang bisa membaca sastra secara kritis dan memahami konteks budaya yang melingkupinya,” ujarnya.
Melani menekankan, sastra bukan sekadar soal bahasa atau estetika. Lebih jauh, sastra juga mencerminkan pandangan dunia, nilai-nilai, konflik sosial, dan relasi kuasa. Oleh karena itu, diperlukan pembaca yang mampu menggali dan memahami makna yang lebih dalam serta bisa menyampaikannya kembali kepada publik melalui tulisan atau diskusi.
Hal yang sama berlaku dalam kajian budaya. Budaya bukan hanya soal pertunjukan atau produk yang bisa dijual. Budaya adalah nilai-nilai, norma, etika, dan perilaku sehari-hari kita. Sebagai pengkaji budaya, Melani memiliki tugas untuk menghubungkan berbagai aspek tersebut dan mengkritisi relasi kuasa yang masih kuat dalam masyarakat.
”Peran sastra dan kajian budaya tidak hanya sebagai ekspresi artistik, tetapi juga cara untuk memahami, mengkritisi, dan mengubah struktur sosial yang masih timpang. Kita perlu terus mengembangkan pembaca kritis dan reflektif agar karya sastra dan kajian budaya bisa terus relevan serta berdampak luas dalam kehidupan kita,” ungkapnya.
© 2025 AMINEF. All Rights Reserved.