Alumni & Voices

Dr. Ricardo Tapilatu

Rick menyelesaikan disertasinya pada tahun 2014, menghasilkan sebuah cetak biru konservasi yang bersifat ilmiah sekaligus praktis. Rick juga membina ikatan kuat lintas Pasifik.

Samudra Cinta

Jika Anda jatuh cinta pada seekor penyu, pilihlah yang paling besar, paling cepat, dan paling rakus yang ada di sekitar Anda.

Itulah yang terjadi pada Ricardo Tapilatu, ahli biologi kelautan periang. Pekerjaannya melestarikan penyu belimbing (leatherback turtle) yang dilindungi di Pasifik Barat mengundang simpati di seantero Indonesia dan Amerika. Penyu belimbing, diketahui berenang lebih dari 5.000 mil laut dari Papua Barat ke California, memainkan peran penting dalam ekologi laut karena kegemarannya makan ubur-ubur. Penyu belimbing tidak akan ragu menyelam jauh demi mendapatkan makanan bergelatin rendah kalori itu. Tampak kokoh dengan berat sekitar 900 kg, penyu belimbing melakukan perjalanan jauh dengan mengandalkan kayuhan kuat kakinya yang berbentuk seperti dayung.

Ilmuwan berusia 51 tahun itu memiliki satu sifat yang sama dengan reptil kesayangannya: ketekunan. Pada tahun 2007, sebagai dosen di Universitas Negeri Papua cabang Manokwari, dia tidak berharap banyak bisa mendapat beasiswa Fulbright untuk mengerjakan disertasi doktornya. Diyakinkan oleh keluarganya, akhirnya dia mengisi formulir pendaftaran dan berhasil mendapatkan beasiswa. Maka, pada tahun 2008, dia pun berkemas menuju University of Alabama. Dengan riang dia memperkenalkan diri kepada teman-teman barunya di Selatan sebagai “Rick” dan dia menghabiskan waktu berjam-jam di laboratorium dan perpustakaan. Dia bolak-balik terbang ke Papua, menguji teori-teorinya dengan penelitian lapangan. Di sana, dia membina satu tim lulusan muda untuk memastikan ada lebih banyak telur penyu menetas dengan selamat di tempat perlindungan. Sementara itu, dia berkumpul dengan para ilmuwan dalam konferensi tentang penyu di Australia, Amerika Serikat, dan Meksiko. Rick tekun menganalisis data. Akhirnya, dia menyelesaikan disertasinya pada tahun 2014, menghasilkan sebuah cetak biru konservasi yang bersifat ilmiah sekaligus praktis.

Rick juga membina ikatan kuat lintas Pasifik. Pada tahun 2016, dia mengundang mahasiswi program master University of Alabama, Amy Bonka, untuk mengunjungi koloni sarang penyu belimbing di pantai Semenanjung Doberai atau Semenanjung Kepala Burung, Papua Barat. Sebagai veteran kajian penyu di Meksiko, Amy takjub oleh pemandangan yang dilihatnya dan kehangatan orang-orang di sana. Lingkaran Rick yang terdiri atas delapan murid “memperlakukan saya seperti keluarga,” kata Amy. “Tidak diperlukan waktu lama bergaul dengan tim riset Rick untuk mengerti rasa hormat mereka terhadap Rick, atau cinta mereka pada pekerjaan mereka—timnya makan, tidur, dan tinggal di tempat konservasi penyu.”

Pengabdian semacam itu bisa sangat penting, apalagi jika melihat bahwa jumlah penyu belimbing di Pasifik Barat menyusut hingga 80 persen selama tiga generasi, menurut National Oceanic and Atmospheric Administration di Amerika Serikat. Mereka sudah punah di Malaysia. Dan kerabat mereka yang dikenal sebagai penyu belimbing Pasifik Timur menyusut cepat di Kosta Rika dan Meksiko. Dampaknya terhadap ekosistem mengerikan. “Jika kita kehilangan mereka, tidak ada predator alamiah ubur-ubur,” Rick memperingatkan.

Kepunahan tidak hanya mempengaruhi Indonesia, tapi seluruh planet. Dengan demikian, dampak riset yang didanai Fulbright itu menjangkau jauh di luar Papua. “Tanpa riset tingkat lokal yang dia lakukan, konservasi spesies ini di tingkat global menjadi mustahil,” ujar Victor Nikijuluw, direktur kelautan di Conservation International Indonesia.

Seperti banyak kisah cinta lain, kisah ini berawal di pantai. Orang tua Rick memperkenalkannya pada kehidupan pantai secara berpindah-pindah. Berdarah campuran yang membentang dari Larantuka, Ambon, dan Belanda, ibu dan ayahnya meninggalkan Jakarta untuk bekerja sebagai pegawai negeri di Irian Barat setelah wilayah itu tidak lagi menjadi jajahan Belanda. Ditugaskan di Badan Urusan Logistik (Bulog)—lembaga yang bertanggung jawab atas persediaan dan keamanan pangan—orang tuanya memindah kan keluarga mereka ke Manokwari (tempat lahir Rick), Jayapura, Fakfak, Wamena, dan Sorong. Sebagai sulung dari empat bersaudara, Rick memimpin saudara-saudaranya yang energetik menombak ikan dan bermain-main di pasir.

Pantai begitu memikat sehingga anak-anak enggan pulang untuk tidur siang. Setelah bermain ombak, mereka baru naik ke tempat tidur tepat sebelum orang tua mereka pulang untuk memeriksa. “Kami bahkan tak sempat mencuci dan mengeringkan kaki,” kenang Rick. Kaki mereka yang berpasir tidak luput dari perhatian sang ayah. Mereka dihukum, tetapi itu tak pernah membuat mereka menjadi jera.

Sebagai remaja pada awal 1980-an, Rick sering menemani ibunya ke pasar di Sorong. Dia terpana melihat deretan telur penyu besar-besar , seukuran bola biliar. Kemudian dia tahu telur penyu dianggap berharga karena dipercayai merupakan obat kuat. Konon penyu memiliki daya tahan bersanggama hingga berjam-jam. Saat direbus, telur penyu sama sekali tidak mirip dengan telur ayam yang mengeras bagian kuning dan putihnya. Bagian dalam telur penyu malah menjadi berlendir dan para penggemar akan memecahkan cangkang lalu menyesapnya.

Banyaknya telur yang dipajang di pasar menggugah imajinasi Rick. Saat itu, sebuah perahu kayu bisa memuat 10.000 sampai 15.000 butir telur sekali jalan, membuat Rick bertanya-tanya berapa banyak penyu yang berada di alam bebas. Namun, baru pada tahun 2004, saat sudah bekerja sebagai kepala laboratorium kelautan di Universitas Negeri Papua, dia mendapat kesempatan mengamati lokasi utama penyu bersarang di Kepala Burung. “Menakjubkan betul,” ujar Rick.

Namun, setelah bertahun-tahun dia juga mengerti bahwa pantai itu bukanlah tempat bermain yang aman dalam ingatan masa kecilnya. Melindungi penyu belimbing yang sedang menetaskan telur adalah pekerjaan berat mengingat berbagai kondisi yang penuh ancaman. Tim risetnya harus bersaing melawan babi liar yang muncul dari hutan-hutan terdekat dan dengan cepat melahap telur penyu. Predator lainnya adalah anjing dan biawak. Kabarnya, pernah ada buaya yang mencaplok kepala penyu betina. Dan, karena perubahan iklim, suhu pasir meningkat, menyebabkan telur menjadi matang bahkan sebelum embrio berkembang.

Menghadapi masalah semacam itu membutuhkan peran serta masyarakat setempat. Misalnya, penduduk desa bisa memerangkap babi, mengeringkan dagingnya, dan menjualnya ke pasar di Sorong. Mereka juga bisa ikut berpatroli dan mengusir hewan pemangsa. Namun, Rick dan timnya mengakui bahwa proses ini sangat sulit karena para pemilik tanah setempat menuntut sejumlah besar uang sebagai imbalan bagi akses para konservasionis itu ke pantai. Seperti tempat-tempat lain di Indonesia, desentralisasi setelah era Soeharto sering menimbulkan percepatan eksploitasi sumber daya alam oleh para pejabat lokal dan pemilik tanah.

Ketika para penduduk desa memanas dalam diskusi, Rick “tidak putus asa. Dia selalu mencari jalan keluar,” kata William Geif Iwanggin, 31, sarjana ilmu kelautan dan anggota tim. Sebagai anak didik Rick di universitas, dia mengingat dosennya sebagai orang yang disiplin serta menuntut kesungguhan dan perhatian dari para mahasiswanya. Namun, setelah Rick kembali dari masa belajarnya di Amerika Serikat, para anak didiknya memperhatikan bahwa dia sedikit lebih “rendah hati”, dan lebih mau mendengarkan orang lain. Pembahasan alot di Kepala Burung sedikit melunak pada tahun 2017 berkat bantuan dana dari Walton Family Foundation yang berpusat di Arkansas.

Selain memajukan ilmu pengetahuan alam, Rick memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang lingkungan hidup. Pada Maret 2017, Rick adalah pelapor utama menyusul peristiwa tragis di gugus kepulauan indah Raja Ampat di Papua Barat ketika kapal pesiar Caledonian Sky menabrak terumbu karang dan merusak setidak-tidaknya 13.000 meter persegi. (Menurut situs lingkungan hidup Mongabay .com, kapal pesiar itu meminta maaf dan menjanjikan kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mencapai penyelesaian yang “adil dan realistis”.)

Baru-baru ini Rick juga berbicara kepada para reporter lokal untuk menerbitkan penemuannya bahwa telur penyu belimbing bukanlah obat kuat yang tak berbahaya. Sesungguhnya telur penyu justru buruk bagi kesehatan manusia karena mengandung merkuri, arsenik, dan berbagai unsur berbahaya lainnya.

Di Amerika Serikat, Rick menikmati makanan sehat tuna segar secara teratur berkat kebaikan pembimbing disertasinya, Thane Wibbels. Guru besar di University of Alabama itu selalu membawakan Rick ikan segar setiap pekan selain membimbingnya dalam penelitian dan meminjaminya peralatan laboratorium. Rick juga menyukai taco Meksiko dan menikmati bermain “American football”, olahraga yang semula membuatnya bingung.

Pada Agustus 2017, dia kembali ke Amerika untuk program selama setahun. Kali ini, sebagai Fulbright Visiting Scholar, Rick memandang lebih jauh dari penyu-penyu kesayangannya dan berpikir lebih luas tentang kesehatan samudra. Bertempat di Arlington, kantor cabang Virginia untuk Conservation International, Rick mengerjakan kerangka konseptual untuk membantu Indonesia memenuhi Indeks Kesehatan Samudra, ukuran global yang bertumpu pada sejumlah parameter seperti keanekaragaman hayati, polusi, dan peluang hidup.

Proyek ini memerlukan visi jangka panjang. Rick, bapak tiga anak, tahu bahwa para pelaut zaman dahulu tidak bisa mengharapkan hasil seketika. “Saya tidak akan bisa melihat hasil kerja saya semasa saya hidup,” ujarnya. “Tetapi saya yakin anak-anak saya akan menyaksikan hasil kerja saya.”

Last Updated: Apr 18, 2019 @ 1:01 pm

Artikel ini tampil di buku Efek Riak: Alumni Fulbright Mengukir Jejak di Dunia (halaman 3-7) yang diterbitkan pada tahun 2017 memperingati ulang tahun ke-25 AMINEF dan ulang tahun ke-65 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah The Ripple Effect: How Fulbright Alumni are Marking Their Mark on the World. Penulis: Margot Cohen. Penerjemah: Anton Kurnia.

WordPress Video Lightbox