“Tidak seperti kebanyakan Fulbrighter Amerika, saya menerima bantuan setelah saya berada di Indonesia. Saya mengambil cuti tanpa dibayar dari jabatan saya di Western Washington University di Bellingham, untuk melakukan penelitian di sini. Ketika itulah saya diberitahu bahwa saya memenuhi persyaratan utama untuk suatu jabatan pengajar yang dibiayai Fulbright, pada Universitas Indonesia.
“Salah satu sebabnya adalah saya telah bisa berbahasa Indonesia setelah bekerja di Jakarta sebagai koresponden UPI, pada awal dan pertengahan tahun 60-an. Dan saya telah melakukan beberapa pekerjaan pengembangan kurikulum pada Western Washington University. Tugas saya di UI adalah untuk mempertegas program jurnalistik mereka pada bidang-bidang pemberitaan, penulisan dan penyuntingan. Selama tiga semester di sana, saya memberi kuliah penulisan feature kepada mahasiswa tingkat sarjana muda, dan juga memberi nasihat kepada beberapa mahasiswa tingkat sarjana. Kami juga mulai mcnyusun suratkabar percobaan yang pertama dlmiliki UI meskipun kami tidak mencetaknya. Suratkabar itu ditempel di dinding.
“Sekarang saya kembali lagi ke Jakarta, sebagai konsultan pada Lembaga Pers Dr. Soetomo. Dua tujuan kami di sana ialah mengadakan suatu program tingkat S2 guna mempersiapkan para sarjana bidang lain menempuh karier jurnalistik, selain juga memberi pelayanan pada para wartawan, melalui seminar dan kursus-kursus singkat.
“Pada mulanya saya pikir saya akan mengambil spesialisasi tentang Cina, karena saya lahir di sana, dan mempunyai perhatian untuk itu sejak kecil. Tetapi pada akhir tahun 40-an pintu daratan Cina ditutup, dan saya tidak ingin menghabiskan satu dua dasawarsa membaca majalah sambil bermalas-malasan di Hong Kong. Kemudian kebetulan saya tcrgugah oleh Indonesia, melalui suatu kuliah di University of Washington. Setelah itu semua seakan-akan tepat pada tempatnya!.”