Alumni & Voices

Ahmad Fuadi

MEMBUKA PINTU BERKARIR

Novelis terkenal, Ahmad Fuadi, kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 1972, berkata, “Fulbright adalah milestone penting dalam hidup saya. Karena beasiswa ini telah membuka banyak pintu kesempatan dalam hidup saya. Antara lain: pintu untuk menimba ilmu di bangku kuliah, pintu untuk melihat dan merasakan budaya dan
interaksi dengan berbagai bangsa, khususnya Amerika, serta pintu untuk berkarir.”

Awalnya Ahmad Fuadi adalah wartawan majalah mingguan Tempo di Jakarta. Ia mendapat pendidikan menengah di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur; dan lulus dari jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk menempuh program master di School of Media and Public Affairs, Universitas George Washington di kota Washington, DC.

Di sana ia berkesempatan melihat sekolah komunitas untuk anak-anak dari kalangan tidak mampu. “Inilah salah satu inspirasi yang dapat dikembangkan di Indonesia,” katanya. Ia mempelajari bagaimana masyarakat menyelenggarakan pendidikan melalui kegiatan filantrofi dengan tenaga relawan.

Kelak, setelah menjadi novelis dengan buku-buku yang laris, Fuadi membuka sekolah serupa. Pendukungnya adalah Komunitas Menara yang didirikan bersama para penggemar tulisannya. Novel pertamanya Negeri 5 Menara dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi. Rangkuman kisah perjalanan ini masuk dalam jajaran buku terlaris tahun 2009, dan berhasil meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dan Kathulistiwa Literary Award 2010. Penghasilan dari buku-bukunya itulah yang disumbangkannya untuk mendirikan sekolah gratis tadi.

Dalam kedudukannya sebagai koresponden majalah Tempo di Washington dan wartawan/ spesialis media Suara Amerika (VOA), Ahmad Fuadi ‘beruntung’ berada di Amerika pada periode yang sangat menentukan. Bersama isterinya, Yayi – yang juga wartawan Tempo, ia sempat meliput peristiwa bersejarah, 11 September 2001. Mereka berdua melaporkan langsung dari Pentagon, Gedung Putih dan Capitol Hill.

Informasi yang baik dianggapnya sebagai alat untuk memperbaiki hubungan antarbangsa. Ia juga ikut menyiapkan terjemahan dan sekaligus distribusi novel-novelnya dalam bahasa Inggris. Ahmad Fuadi berkembang dari seorang kuli tinta menjadi motivator, penceramah, novelis, dan juga filantropis.

Dalam kaitan Indonesia dan Amerika Serikat, Ahmad Fuadi berpendapat, “Perlu banyak pertukaran informasi dan pengalaman antar kedua negara. Saat ini masih banyak salah pengertian dan persepsi antara kedua belah pihak. Kata pepatah di pesantren saya, kita adalah musuh bagi hal yang kita tidak tahu. Supaya menjadi mitra yang baik, kita harus semakin saling tahu dan kenal.”

Sepulang dari Amerika, ia sempat menjadi Direktur Komunikasi untuk lembaga pelestarian lingkungan, The Nature Conservancy. Dalam kegiatannya mengadakan penyuluhan di lembaga lingkungan hidup itulah lahir dua novelnya yaitu Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna.

“Ternyata, buku-buku itu mendatangkan kesibukan baru. Saya diundang memberikan ceramah antara 3 hingga 5 kali dalam seminggu,” katanya. Ahmad Fuadi juga mendapat julukan baru yaitu motivator. Tugasnya adalah membangkitkan semangat untuk belajar dan berkomunikasi. Karena kesibukannya menulis dan berceramah ini, ia akhirnya memutuskan untuk bekerja mandiri sebagai pengarang. Mulai 2011, ia mencurahkan perhatiannya pada kegiatan tulis-menulis, berceramah, dan mengurus sekolah gratis untuk kaum papa yang didirikannya. Ia juga mengorganisir para relawan yang mendukung cita-citanya.

Ahmad Fuadi memberi rekomendasi untuk memperbanyak kesempatan pertukaran antar warga Indonesia dan Amerika. “Tidak harus program belajar yang lama, tapi kunjungan dalam hitungan minggu pun akan sangat bermanfaat.”

Last Updated: May 31, 2019 @ 11:38 am

Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 74-77) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.

WordPress Video Lightbox