SURABAYA — Melalui program ini diharapkan terjalin hubungan yang baik antar masyarakat Indonesia dan masyarakat Amerika Serikat, serta memanfaatkan ilmu dan kemampuan yang diperoleh saat belajar di Amerika Serikat untuk membangun Indonesia. Pendidikan di luar negeri terutama di Amerika Serikat masih menjadi favorit mahasiswa asal Indonesia, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kesempatan beasiswa belajar di universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Diaz Fitra Aksioma, mahasiswa penerima program beasiswa Fulbright, yang juga pengajar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, memilih Amerika Serikat sebagai tempat belajar karena kualitas pendidikan yang paling baik di dunia. Beasiswa program doktoral yang diterimanya memberi biaya penuh untuk belajar, sekaligus biaya untuk hidup dan tinggal di Amerika Serikat selama waktu belajar.
“Profesor yang sesuai dengan bidang saya ada di sana, dan beasiswa Fulbright ini yang paling mumpuni lah, dari segi segala macamnya, dari link, dari segi pembiayaan, istilahnya kedepannya nanti jelas. Sangat maju, sangat maju sekali, jadi itu salah satu alasan kenapa saya memilih Amerika, karena pendidikan di sana jauh lebih maju, dan istilahnya dari pusatnya ya, kenapa gak belajar langsung di pusatnya,” ujar Diaz.
Keunggulan pendidikan di luar negeri yang telah menerapkan teknologi, juga menjadi alasan Umi Halimatus Saidah dari Jombang, mahasiswa penerima program beasiswa Fulbright. Belajar di luar negeri kata Umi, selain untuk menemukan jati diri, juga untuk memperoleh jaringan yang sangat luas di Amerika Serikat. Umi bercita-cita mengembangkan ilmunya nanti, untuk memajukan pendidikan di kota tempat tinggalnya, Jombang.
“Yang saya bayangkan itu untuk penerapan teknologi ke dalam kelas, Indonesia itu kan kayaknya masih kurang ya. Jadi mimpi saya itu, Indonesia itu jangan sampai kalah, teknologi itu harus juga diterapkan dalam kelas, karena mau tidak mau itu harus sejalan. Karena teknologi ini selalu berkembang, ayo kita kejar juga bisa seperti mereka, mengaplikasikan atau mengambil manfaat dari teknologi untuk dimanfaatkan di pendidikan,” tutur Umi.
Program Fulbright di Indonesia telah berusia 65 tahun, dan telah menghasilkan lebih dari 3.000 lulusan dari Indonesia, serta sekitar 1.200 orang Amerika Serikat yang berkontribusi dalam hal penelitian dan pengajaran di Indonesia. Dari laman resmi AMINEF, di www.aminef.or.id menyebutkan sejumlah nama tokoh penting di Indonesia merupakan alumni penerima beasiswa Fulbright, seperti Anies Rasyid Baswedan, Imam Prasodjo, Saiful Mujani, Bambang Harymurti, Dien Syamsuddin, serta Amien Rais.
Direktur Eksekutif AMINEF, Alan H. Feinstein mengatakan, Indonesia merupakan negara di Asia Pasifik yang menyumbang mahasiswa terbanyak untuk program Fulbright. Melalui persyaratan dan tes yang ketat, hanya 8 persen saja yang dapat diterima dari 100 persen pelamar.
Melalui program beasiswa ini, Alan berharap alumni Fulbright dapat menjadi tokoh-tokoh penting di masyarakat dan negara, dengan menyumbangkan pemikiran, pengetahuan dan kemampuannya untuk kebaikan masyarakat dan bangsa.
“Ya jelas bahasa Inggris, tapi mereka juga harus mempertahankan research proposal, usulan untuk penelitian, apakah masuk akal atau visible, jadi bisa dilakukan. Mereka sebagai leader di komunitasnya, dan kira-kira setelah kembali akan menyumbang pada negara atau pada bidangnya, pada Universitasnya atau tidak. Ya jelas, mereka berhasil sekali waktu di Amerika, dan setelah kembali menjadi pemimpin dalam bidangnya, dan menyumbangkan pengetahuannya, dan menjadi tokoh di beberapa bidang, akademik dan non-akademik,” kata Alan.
Isu penolakan terhadap asing yang ramai di pemberitaan akhir-akhir ini, menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya, Diah Ariani Arimbi, merupakan ketakutan berlebih dari sejumlah orang yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik.
Diah yang juga alumni program Fulbright mengatakan, kerjasama dengan dunia asing termasuk dalam hal pendidikan adalah keniscayaan, karena kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan. Diah menekankan pentingnya kerjasama di bidang pendidikan dengan universitas di luar negeri, selain karena status dan kualitas pendidikan di luar negeri yang lebih baik dari Indonesia, juga untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan.
“Itu menurut saya moral panic, ketakutan yang berlebihan ya. Menurut saya sudah tidak waktunya seperti itu, karena kita saling belajar lah. Menurut saya dunia sudah tidak seperti sepuluh dua puluh tahun yang lalu, sudah banyak perubahan, dan salah satunya adalah interconnection atau networking ini. Sehingga mereka yang kembali ke Indonesia kemudian anti asing, saya kira itu lebih banyak mewakili generasi-generasi yang tua, karena mereka memang mempunyai agenda, terutama menurut saya sih agenda politik, jadi ada politisasi terhadap anti asing. Zaman sekarang mana bisa seperti itu, karena ya kita banyak bergantung pada asing, asing juga banyak bergantung pada kita, kan sama-sama,” tukas Diah.
Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Heather Variava mengungkapkan, program Fulbright ini merupakan hal baik yang harus terus ditingkatkan, terutama untuk mendekatkan hubungan antara masyarakat kedua negara.
“Untuk saya dan untuk Amerika Serikat, program Fulbright sangat penting, untuk mendekatkan hubungan people the people, anatara masyarakat Indonesia dan masyarakat Amerika Serikat. Kami sangat senang bahwa mahasiswa ini dari seluruh Indonesia, akan ada kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat, dan mereka akan menerima banyak keterampilan, keahlian dalam bidang mereka, tetapi juga mereka menjadi sebagai ‘duta besar’ untuk Indonesia, untuk berbagi pengalaman mereka dan kebudayaan Indonesia dengan masyakat Amerika Serikat, dan itu penting sekali juga untuk kami,” demikian ujar Heather. [pr/em]