Bambang Harymurti, kelahiran 1956, adalah seorang wartawan terkemuka Indonesia yang populer dikenal dengan inisial BHM. Lulusan teknik listrik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menerima beasiswa Fulbright untuk mencapai gelar master di bidang Kebijakan Publik dari John F. Kennedy School of Government di Universitas Harvard.
“Menurut saya, Amerika perlu lebih banyak mengirim orang ke Indonesia. Bukan hanya dalam kerangka pertukaran Fulbright, tetapi juga dalam program Peace Corps dan program-program penelitian lainnya. Mengapa? Semakin banyak orang Amerika yang mempelajari Indonesia, pemahaman mereka atas negeri ini akan semakin baik,” katanya.
BHM berpendapat, sekarang jumlah ahli mengenai Indonesia di Amerika semakin berkurang. “Kita memerlukan lebih banyak ahli-ahli Indonesia lainnya, seperti almarhumah Ann Dunham, ibunda Presiden Barack Obama. Mereka meneliti Indonesia dengan sepenuh hati, dan memberikan empati yang mendalam pada masyarakat di sini. Sebaliknya, orang-orang Indonesia yang belajar ke Amerika, hendaknya memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya
Amerika memberi kesempatan untuk melihat masa depan. Jadi kita seperti mendapat cermin lopian. Dalam kisah Mahabarata, siapa yang punya cermin lopian dapat melihat segala sesuatu yang sedang dan akan terjadi,” tuturnya.
“Urut-urutan perkembangan sosial, politik, ekonomi dan kultural Indonesia dapat dilihat dari yang telah terjadi dalam sejarah Amerika,” katanya BHM. “Dampak kebebasan berpendapat dan liberalisasi ekonomi, tahap demi tahap dapat kita lihat polanya pada yang telah terjadi di Amerika,” katanya.
BHM pernah magang di majalah Amerika terkemuka, Time. Ia termasuk dari sedikit wartawan yang lulus saringan sebagai calon astronot untuk menjadi awak pesawat ruang angkasa Amerika Serikat. Menjadi astronot memang cita-citanya sejak kecil. Sayangnya ia tidak pernah diberangkatkan, karena program pesawat ulang-alik Amerika dihentikan.
Antara tahun 1991 hingga 1994, BHM memimpin kantor perwakilan majalah Tempo di Washington DC. Sekembali ke Tanah Air, BHM menjadi penganjur kebebasan pers yang banyak dikagumi orang. Ia pernah dicopot dari jabatannya sebagai redaktur pelaksana harian Media Indonesia selama dua minggu, karena dinilai alpa tidak memuat berita ulang tahun Presiden Soeharto, pada 1997
Sejak 1999, BHM menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo, menggantikan tokoh legendaris pers dan sastra Indonesia, Goenawan Mohamad.
Last Updated: Jun 3, 2019 @ 2:14 pm