KEHUJANAN TAPI TIDAK BASAH
Sebelum memperoleh beasiswa Fulbright, Budi Darma, kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 1937, mendapat beasiswa dari East-West Center di Hawaii. “Di sana saya tinggal satu tahun (1970) untuk menyiapkan bahan ajar mata kuliah Ilmu Budaya Dasar yang akan diterapkan di seluruh universitas di Indonesia,” katanya. Kepergiannya itu atas rekomendasi almarhum Prof. Harsja W. Bachtiar, Ketua Konsorsium AntarBidang di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Beliau menekankan, bahwa saya harus memikirkan pendidikan bagi masa depan Indonesia.”
“Selanjutnya, Agustus 1974, juga atas jasa almarhum, saya mendapat beasiswa Fulbright untuk belajar di program master di Universitas Indiana, Bloomington. Saya akhirnya dapat menyelesaikan program tersebut tepat waktu. Ketika itu saya langsung diterima di program doktor, dan atas bantuan almarhum dan Ibu Paula Causey dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, saya berhasil memperoleh beasiswa dari Ford Foundation. Misi saya, setidaknya menurut pendapat saya sendiri, berhasil. Dengan kerja keras, saya dapat mengajar dan menguji di beberapa universitas baik di Indonesia maupun di luar negeri untuk mengamalkan ilmu yang saya peroleh di Amerika.”
Pengalaman Budi Darma di Amerika banyak sekali. Katanya, “Mungkin yang paling menarik adalah kondisi lingkungan yang tenang dan damai. Itulah kemudian yang memicu saya untuk menulis novel Olenka, kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington, beberapa cerpen lain dan penelitian mengenai Sastra Amerika dan Sastra Inggris.” Berikut ini penuturan mantan Rektor IKIP Surabaya yang juga sastrawan Indonesia terkemuka itu mengenai pengalamannya tinggal di Amerika:
“Pada hari kedua saya tiba di Bloomington, saya diundang makan malam oleh host family saya, seorang dokter bedah. Karena saya belum mengenal kota itu dengan baik, dokter tersebut meminta isterinya menjemput saya di asrama mahasiswa Eigenmann Hall, sebuah asrama mahasiswa terbesar di sana. Suasana makan malam sangat menyenangkan: dokter itu bercerita mengenai pengalamannya sebagai wisatawan di Indonesia, dan akhirnya bertanya kepada saya mengenai citra Amerika di Indonesia.
“Saya menjawab pertanyaannya secara tidak langsung, dan sebaliknya menceritakan kembali kisah nyata di Afrika dari sebuah majalah yang pernah saya baca lebih kurang lima belas tahun sebelumnya. Pada suatu hari, di sebuah desa di Afrika ada tayangan film Amerika. Karena film dan proyektornya sudah tua, semua adegan dalam film itu seolah-olah terjadi pada saat turun hujan. Penonton kemudian menyimpulkan, bahwa setiap hari di Amerika pasti ada hujan, bahkan di kamar tidur sekali pun orang Amerika kehujanan. Tapi anehnya, orang-orang Amerika yang kehujanan setiap hari itu tidak pernah basah.
“Beberapa minggu kemudian, setelah saya punya banyak teman di Eigenmann Hall termasuk mahasiswa-mahasiswa dari Afrika, saya ceritakan kembali kisah ini, dan mereka tertawa terbahak-bahak. Memang peristiwa semacam ini pernah terjadi di Afrika, kata mereka. Salah seorang mahasiswa dari Afrika itu berkata: ‘Itulah yang menyebabkan orang-orang Amerika dianggap makhluk sakti.’
“Hubungan antara orang Indonesia dan orang Amerika di Amerika sangat baik, mirip dengan hubungan antara orang India dan orang Inggris di Inggris, dan bukannya di India pada jaman kolonial, sebagaimana dilukiskan oleh E.M. Forster dalam novel A Passage to India. Dua kebudayaan, Indonesia sebagai representasi Timur dan Amerika sebagai representasi Barat dapat berkomunikasi dalam situasi saling terbuka dan menghargai.
Tapi, jangan bicara masalah politik, sebab, setiap pembicaraan mengenai hal ini akan menimbulkan persepsi yang keliru mengenai makna politik untuk perdamaian dan makna politik untuk mendominasi pihak lain. Dalam menghindari masalah politik dan sebaliknya memberi penekanan pada aspek kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Fulbright boleh dikatakan berhasil.
“Tapi, tentu saja, ada beberapa orang Indonesia dan Amerika di Amerika yang sukar menjalin hubungan baik. Paradigma Rudyard Kipling, ‘East is East and West is West and never the twain shall meet,’ tetap berlaku. Orang Indonesia mengelompok dengan orang sebangsa, atau dengan orang dari Asia Tenggara atau Asia, dan orang Amerika memilih untuk mengelompok dengan orang Amerika sendiri atau Eropa, Australia, dan Canada. Kelompok-kelompok ini terlihat, terutama pada waktu makan siang di kafetaria-kafetaria kampus atau gedung-gedung Commons. Tapi ini masih bisa dianggap wajar, karena, makin jauh seseorang meninggalkan tempat asalnya, makin kuat kemungkinannya dia untuk mencari akar kebudayaannya melalui orang-orang yang kebudayaannya mirip.
“Menurut saya, dalam pertukaran cendekiawan Indonesia-Amerika ada sedikit kekurangan: para cendekiawan Indonesia di Amerika banyak belajar mengenai Indonesia berdasarkan data-data Indonesia di Amerika dan pendapat para pakar Indonesia di Amerika, sedangkan orang-orang Amerika di Indonesia lebih banyak belajar dengan terjun langsung ke lapangan. Untuk mencari bukti, cobalah tengok perpustakaan-perpustakaan universitas yang menawarkan program studi mengenai Indonesia, Melayu atau Asia Timur, mulai dari Hawaii sampai ke pantai timur dan pantai barat Amerika. Materi pertukaran cendekiawan, dengan demikian, mungkin perlu dipertimbangkan lagi, sehingga para cendekiawan Indonesia di Amerika lebih banyak belajar mengenai ke-Amerika-an, dan bukan semata-mata mengenai ke-Indonesia-an lagi.”
Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 97 – 100) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.
Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.
Intiland Tower, Lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 32
Jakarta 10220, Indonesia
Tel : (+62) 21 5793 9085 / 86
Fax : (+62) 21 5793 9089
Office Hours : Monday – Friday, 08.00 – 17.00
The office is closed for Indonesian and US holidays
© 2024 AMINEF. All Rights Reserved.