işlek caddelere ve kafelerin olduğu kalabalık bir yere sikiş taşınmak isteyen genç çift bekar hayatı yaşadıkları porno huzurlu evlerinden daha sosyal imkanları olan bir porno izle mahalleye taşınmak isterler bu fikri sonrasında anal porno anında soyunmaya başlayan abla dediği kadını görünce yıllarca porno izle abla dememiş gibi onu tek celsede sikerek abla kardeş sex izle ilişkisine yüksek seks mahkemesinin kararıyla son brazzers verirler üvey kardeşlerin şehvetle sikiştiğini gören porno video mature ise boş durmaz ve onların bu eğlenceli ensest sikişmelerine kendisi konulu porno de dahil olur yine bir gün elinde poşetlerle eve gelir ders sex izle çalışmakta olan üvey oğluna yeni iç çamaşırlar aldığını bunları porno babasından önce ona göstermek istediğini söyler

Cerita Penelitian Suku Korowai di Kabupaten Boven Digul

image003 (1)

INDOPOS.CO.ID – Banyak hal yang sejatinya bisa dipelajari dari suku yang ada di Papua. Peneliti asing, Prof Rupert Stasch melakukan penelitian suku dan budaya di Papua.

ABDEL GAMEL NASER, Jayapura

Dibantu dosen ISBI di Tanah Papua, Dian Wasaraka, koran ini berhasil bertemu dengan Prof Rupert Stasch dan mendengarkan banyak cerita tentang Suku Korowai, Kabupaten Boven Digul. Dian menganggap Rupert sebagai salah satu dosen pembimbingnya selama ini. Saat ditemui di Home Stay Agapele, Waena, pria kelahiran 1971 di San Francisco, California, Amerika ini terlihat sangat ramah. Ia mempersilakan duduk di sebuah meja kayu yang diatur miring diagonal dari bentuk ruangan. “Senang bertemu dengan Anda,” ujarnya sambil mengajak duduk.

Rupert merupakan salah satu dosen di Universitas Cambridge, Inggris dan mengajar antropologi. Menyelesaikan S1 di Reed College kemudian melanjutkan S2-S3 di Universitas Chicago dan selesai S3 2001 pada usia 30 tahun.

“Sejak 1998 ia sudah mengajar dan telah mengantongi gelar profesor saat itu,” ucap Dian memperkenalkan. Rupert memilih melakukan penelitian ke daerah atau Suku Korowai lantaran menganggap ada banyak hal menarik yang bisa dipelajari. Apalagi selama ini tidak banyak peneliti yang masuk ke daerah tersebut. Berbeda dengan daerah lain semisal Wamena. Jika sebelumnya Rupert melakukan penelitian dengan menggandeng Uncen, kali ini ia bersama ISBI di Tanah Papua yang dijadikan partner akademisi.

Ia mendapat cerita tentang asal usul nama Korowai yang menurutnya berasal dari pemberian nama seorang misionaris dengan menyebut Kholufo atau artinya daerah yang lebih ke atas atau daerah hulu. Orang Korowai juga senang menyebut nama mereka dengan sebutan Kholufo.

Niat ayah dari seorang putri ini meneliti ke Korowai bukan terjadi secara kebetulan. Awalnya ia mendapati sebuah buku berjudul The Korowai of Irian Jaya Their Languae in its Cultural Conteks. Buku ini disusun seorang penginjil asal Belanda bernama Geerit Van Enk 1987 hingga 1990 dengan mengambil lokasi pelayanan di Pos Yaniruma tak jauh dari Korowai.

Isi buku ini tak lain ingin mempelajari tentang bahasa Korowai. Dalam penyusunan buku tersebut Geer Van Enk juga dibantu rekannya bernama Lourens de Dris namun akhirnya buku tersebut hanya beredar di kalangan mereka dan belum diterbitkan secara massif.

Dari situlah Rupert berkeinginan membantu menambah khasanah cerita tentang Korowai dari keilmuannya. “Secara umum sejak berstatus sebagai mahasiswa S1, saya tertarik masalah antropologi dan saya belajar beberapa buku soal antropologi terkait budaya Asia Timur dan tertarik soal budaya ini, tapi saya tidak tahu kenapa tertarik,” jelasnya saat ditemui, pekan kemarin di Waena.

Keinginan kuatnya untuk turun meneliti di Indonesia diakui tak lepas ketika ia dari seorang dosen asal Italia yang melakukan penelitian di Seram, Maluku. “Sifat pendekatan ia cukup menarik dan saya tidak ada pikiran lain sehingga saya putuskan ke kawasan Indonesia timur,” jelasnya. Rupert akhirnya mau tidak mau memulai belajar Bahasa Indonesia, pada 1993 Rupert juga sempat mengikuti kursus bahasa Indonesia di Makassar selama 8 minggu kemudian memperdalam bahasa Indonesia dengan berkunjung ke beberapa daerah di Papua untuk merekam gaya komunikasi masyarakat.

Pada 1995 barulah ia melakukan penelitian perdananya. Menariknya dalam penelitian pertama ini Rupert memutuskan berada di kampung atau dusun selama hampir 1 tahun, masuk pada September 1995 dan keluar pada Agustus 1996. “Saya tertarik pada budaya orang Papua dan Korowai muncul sebagai satu tempat yang belum diteliti dengan dalam. Waktu ke Korowai saya diterima baik dan keadaan d isana memang menarik sekali, lebih menarik dari yang dibayangkan. Hanya untuk bahasa setempat memang sulit tapi tetap menarik,” ujarnya.

Menariknya dari keseriusannya, Rupert kini justru fasih berbahasa Korowai dibanding berbahasa Indonesia. Ini dibuktikan dengan berdikusi dengan salah satu putra Korowai ketika berada di Rumah Bakau Entrop.

Fokus penelitian prof saat ini adalah pariwisata, sedangkan sebelumnya berkaitan dengan semua adat, budaya, kultur, kekerabatan. Ini menurutnya ada kaitannya dengan hak milik tanah dan pendekatan pola pemakaian ruang. Pola pemukiman rumah di Korowai, kata Rupert, agak tersebar. Hal tersebut tak lepas dari kekerabatan.

Masyarakat Korowai sangat menghargai otonomi, atau sifat hidup mandiri, namun menjaga kekerabatan. “Itu yang sangat menarik, meski tersebar dan memiliki dusun masing-masing tapi mereka tetap saling berkunjung. Jika ada acara membangun rumah atau acara lain, tetangga yang jauh ini pasti datang,” jelasnya.

Dalam kebiasaan budaya Korowai juga memiliki banyak hal menarik yang, menurut Rupert, jika terjadi di masyarakat umum maka dipastikan akan aneh. Semisal penghormatan terhadap mertua yang tak boleh melihat wajah dengan wajah. Lalu ketika ingin lewat harus saling membelakangi. Anak mantu juga tak boleh makan sama-sama termasuk menyebut nama langsung nama mertuanya. “Itu yang aneh, tapi menarik. Anak mantu tak boleh melihat wajah mertuanya termasuk tak boleh menyebut nama mertuanya. Itu salah satu bentuk penghormatan dan jarak antara orang bukan halangan melainkan justru menjadi kekayaan,” jelasnya.

Rupert sendiri mencoba cepat menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat. Ia tinggal dengan salah satu keluarga masyarakat asli Korowai dan lebih banyak duduk di sebuah pondok untuk melihat dan mempelajari perilaku maupun kebiasaan masyarakat. “Untuk bahasa asli memang sempat membuat saya kesulitan, saya merasa seperti anak kecil di sana. Tidak paham apa-apa, tapi saya terus bertanya,” imbuh peneliti yang telah menghasilkan 30 jurnal ilmiah ini.

Selama meneliti, meski diperhadapkan dengan kondisi yang tak sepenuhnya nyaman. Tapi Rupert tak ingin mengeluh, begitu juga dengan jenis makanan yang disajikan. Ia harus menyesuaikan. “Kami menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Bahan makanan lokal dan jelas ada dan saya tak sulit menyesuaikan diri. Mereka makan ikan dari sungai, pisang, udang dan hasil kebun seperti tebu, keladi, ketimun dengan makanan pokok sagu yang dibakar. Mereka lebih banyak membakar ketimbang merebus. ” terang Rupert. (*)

Last Updated: Jul 31, 2022 @ 9:43 pm
WordPress Video Lightbox