Media budaya lahir dan bertahan karena ada kebutuhan untuknya di dalam masyarakat. Namun tak jarang dalam media budaya perempuan masih dianggap sebagai obyek, pun di dalam berbagai bentuk. Untuk itu, perempuan perlu lebih proaktif dan produktif suarakan aspirasinya melalui media budaya. Bagaimana cara perempuan memanfaatkan media budaya dengan efektif untuk menyuarakan kesetaraan, Swara Rahima telah menggali informasi dari seorang aktivis perempuan, yang juga pendiri Yayasan Kalyanamitra, salah satu LSM perempuan tertua di Indonesia. Bagaimana informasi itu dibeberkan, berikut adalah petikan wawancara kami dengan Debra H. Yatim, direktur Komseni (Komunikasi untuk Seni) yang juga mantan wartawan kantor berita radio Australia.
Menurut mbak Debra, bagaimana pengertian media budaya, apa saja cakupannya? Dan bagaimana dengan media budaya rakyat?
Media budaya adalah benda cetakan, siaran elektronik, ranah cyber dan penyampaian pesan lewat pertunjukan serta bentuk kesenian lain yang membahas persoalan kebudayaan. Cakupannya adalah seluruh hal yang menyangkut manusia di dalam masyarakatnya. Sedangkan media budaya rakyat adalah jenis-jenis penyampai-pesan yang dapat dijangkau dan isi pesan dapat dipahami oleh rakyat.
Jika perlu memberikan contoh, maka media rakyat misalnya pertunjukan wayang kulit di Jawa, atau tari Seudati di Aceh. Tetapi, ada sementara pihak mengatakan bahwa pertukaran informasi di pasar juga merupakan medium, sehingga sesungguhnya gosip harus kita perhitungkan juga sebagai ‘media budaya rakyat’.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, media budaya seperti apa yang paling tepat untuk pendidikan kesetaraan?
Dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan acara televisi adalah media yang paling tepat untuk pendidikan kesetaraan. Mengapa menyesal? Karena apa-apa yang ditayangkan oleh televisi cuma sekelebat dan sukar untuk direnungkan dan dikaji secara mendalam. Juga, televisi tidak mendidik kita menjadi masyarakat perenung maupun pembaca. Kekurangan televisi yang lain adalah kerap para produser program menyajikan sesuatu dengan asumsi bahwa penontonnya tidak cerdas, sehingga mengajukan persoalan sudah komplet dengan kesimpulan. Memang dalam ilmu komunikasi ada konsep lowest common denominator, atau golongan penonton yang kemampuan daya tangkapnya pada kadar paling rendah-lah yang akan dijadikan tolok ukur untuk menyampaikan pesan yang pelik maupun mudah. Bayangkan jika kita ingin menyampaikan konsep-konsep kesetaraan lewat televisi dalam acara yang rating-nya tinggi, dan penguasa TV mengatakan bahwa ‘sang lowest common denominator’ itu takkan mengerti apa yang dimaksudkan! Inilah kekurangan televisi yang paling menghalangi gagasan-gagasan kesetaraan untuk bisa masuk dan menyebar di masyarakat secara efisien. Selain itu, televisi sulit sekali menyajikan kesenian pertunjukan tradisi atau lokal dengan baik karena sifatnya yang dua-dimensional. Jika pertunjukan di alun-alun desa menyajikan pesan-pesan kesetaraan, mungkin lebih efektif, tetapi cuma beberapa ratus orang yang akan dapat menikmatinya.
Sejauh ini, bagaimana media budaya menempatkan perempuan?
Jika kita ingin mengatakan ada pertunjukan ronggeng atau lenong yang pro-perempuan, tentu kita tahu bahwa kita sedang mengelabui diri! Media yang digemari orang banyak kerap memposisikan perempuan dalam kedudukan yang menurut mereka “tradisional” atau yang mudah diterima orang banyak. Biasanya ini berarti perempuan digambarkan sebagai pendamping, pengelola rumah tangga, merupakan ‘Sang Dungu’ atau ‘Sang Penderita’, menjadi objek, atau memainkan peran yang kedua. Salah satu penyebab ini, menurut hemat saya, adalah karena terlalu sedikit perempuan yang ada di pucuk pimpinan penyelenggaraan media yang bersangkutan. Ya, itu tadi, terlalu sedikit perempuan yang pemimpin redaksi, koreografer, dalang, produser, pengarang, pemimpin perusahaan penerbitan, direktur eksekutif stasiun televisi, dan juga yang pemilik modal untuk membuat film. Saya ingat, saya pribadi sangat dibentuk oleh bacaan-bacaan saya kala berusia 5 sampai 10 tahun, yang pengarangnya perempuan dan prosanya mengisahkan cerita-cerita heroik dari tokoh utama yang adalah perempuan.
Apa yang sudah dilakukan para perempuan pegiat kesetaraan dengan media budaya selama ini ?
Karena yang kita dambakan bersama adalah perubahan masyarakat dari yang saat ini kita ketahui, tentu saja prosesnya perlahan-lahan. Apa saja yang dilakukan? Kukira setiap kali majalah alternatif seperti yang diterbitkan Rahima memuat tulisan mengenai kesetaraan, itu sudah melakukan satu tindakan nyata. Setiap kali majalah perempuan menampilkan tokoh kuat yang seorang perempuan di dalam halaman-halamannya, itu sudah berbuat. Setiap kali masyarakat memberi tempat bagi seorang perempuan untuk menjadi Redaktur Pelaksana sebuah harian, atau menjadi Pemimpin Redaksi pada divisi pemberitaan sebuah stasiun televisi, itu kita sudah berbuat. Perjuangan masih panjang, tetapi minimal sekarang masyarakat tidak mempertanyakan kesahihan seorang Rosiana Silalahi memimpin Liputan Enam SCTV, atau Maria Hartiningsih dan Ninuk Pambudi berkuasa di beberapa halaman Kompas. Bayangkan bagaimana rasa kesepiannya perempuan macam Herawati Diah saat jadi pemimpin redaksi, atau seorang Gadis Rasjid menjadi reporter pada zaman tahun 1950-an! Dalam hal ini, mungkin media mainstream juga saya masukkan dalam kategori media budaya, karena ikut membentuk kebudayaan kita secara nyata.
Sebagai alat, bagaimana cara media budaya bekerja untuk mensosialisasikan relasi adil ini?
Media budaya mensosialisasikan seluruh nilai dan sikap yang ada di dalam masyarakat. Jika media itu ingin mensosialisasikan gagasan-gagasan kesetaraan dan keadilan, maka isi pesan-pesan hendaknya dirancang dengan cermat, dengan pola tertata dan konsisten untuk mengedepankan bahwa kebudayaan yang tidak menyertakan perempuan di dalamnya adalah kebudayaan yang berkacamata-kuda. Lebih jauh, hendaknya masyarakat mendorong ikut-sertanya perempuan di dalam pengolahan media yang ada, misalnya: perempuan harus bisa jadi pemimpin redaksi, produser, sutradara, koreografer, dalang, penulis naskah, penyair, pengarang, fotografer, pembuat film, pembuat iklan, dan sebagainya.
Apa saja yang menjadi kekurangan dan kelebihannya?
Kelebihan tindakan dan upaya tersebut, tentu saja, akan memajukan kondisi perempuan dan ikut melenyapkan diskriminasi terhadap perempuan dan misogini di dalam masyarakat. Kekurangannya adalah, dalam 30 tahun terakhir, sudah bukan rahasia lagi bahwa majalah perempuan cuma dibaca oleh kaum perempuan; Koreografi atau kesenian pertunjukan oleh perempuan lebih menarik penonton perempuan; Bahkan di toko buku besar, kita akan dapat melihat rak buku berlabel “chick lit” (susastra untuk perempuan) yang diserbu cuma oleh kaum perempuan. Mengapa dia merupakan kekurangan? Karena yang perlu membaca isi pesan medium-medium tersebut juga adalah kaum lelaki. Dengan demikian, kerap kita lihat gagasan kesetaraan sudah di”beli” oleh kaum perempuan, tetapi lelaki di sekitarnya masih buta mengenai jargon maupun kandungan filosofinya.
Dalam praktiknya, adakah ketegangan antara ide kesetaraan itu sendiri dengan media budaya yang dinamis?
Media budaya yang dinamis sering berpolakan ‘pakem-pakem’ tradisional. Ketegangannya adalah jika lelaki yang memimpinnya mencoba bersikap modern dan menyertakan perempuan, dan ternyata salah mengartikan gagasan feminisme, misalnya. Saya pernah terkejut mendengarkan siaran radio di daerah mengetengahkan topik “Perempuan dan Feminisme” dan menggambarkannya sebagai perempuan yang tidak menikah. Produsernya mengabaikan kenyataan bahwa jumlah populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki, dan bahwa ada perempuan yang ingin menikah tetapi tidak menemukan pasangan yang cocok, sehingga di dalam masyarakat selalu akan ada perempuan yang tidak menikah. Yang payah dari sang produser laki-laki itu adalah menyamakan konsep tidak menikah dengan sikap yang feminis. Mungkin niatnya baik, tapi hasilnya menyesatkan. Kita juga sering melihat teater rakyat yang berusaha menyajikan topik ’gender’ di dalam pertunjukannya. Hampir selalu meleset, melulu karena kurang paham akan arti sebenarnya dari istilah gender itu.
Lalu, bagaimana hubungan ide kesetaraan dengan setting kepentingan media budaya ini?
Sudahlah, kita terima saja bahwa semua media lahir karena ada kepentingan politisnya. Jika kelak saya kaya-raya dan mampu, saya pun akan membentuk jaringan media raksasa yang menjangkau seluruh wilayah dan hanya mengedepankan kepentingan-kepentingan perempuan. Di dalamnya akan ada Divisi Penerbitan, Divisi Siaran, dan Divisi Seni Pertunjukan. Nanti jika dituding oleh perusahaan kompetisi, “Kok berpihak?” Saya akan mengatakan dengan lantang, “Memang! Saya bias gender! Saudara mau apa?” (Sambil tertawa-Red.)
Bagaimana perempuan dapat mengambil bagian dalam media budaya untuk menyuarakan dirinya?
Saya kira, sejak gerakan perempuan di Indonesia menjadi mantap, kita semua mendorong perempuan untuk bekerja di media, berkarya di media, atau kalau bisa bahkan menciptakan medianya sendiri. Jika mediumnya adalah kebudayaan, artinya lewat suatu bentuk kesenian atau kegiatan lokal kemasyarakatan, lebih seru lagi! Lewat cara aktif seperti itulah perempuan dapat menyuarakan kepentingannya.
Dalam konteks Komseni yang Mbak prakarsai, apa yang mendasari lahirnya lembaga tersebut?
Komseni lahir, karena pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kami melihat bahwa kesenian di Indonesia tidak mendapat dukungan dan komitmen sebesar yang diberikan masyarakat kepada pengembang real estate dan industri rokok serta makanan olahan. Padahal, di negara maju, adanya pengembangan kawasan mengharuskan dibangunnya pula teater dan gedung kesenian. Adanya fast food dan rokok juster mendukung lahirnya bentuk-bentuk kesenian garda depan dan alternatif. Komseni lahir karena berusaha menjadi jembatan.
Adakah ide kesetaraan menjadi muatan dalam berkegiatan? Jika ada, bagaimana Komseni mengemasnya?
Dalam setiap kegiatannya, Komseni secara sengaja mengharuskan keikutsertaan perempuan. Jika perempuan tidak diikutsertakan, maka kegiatan itu kita tiadakan. Jika mengajukan usul kepada klien, kita akan mendesak adanya keterwakilan perempuan yang proporsional dalam apa saja yang dilakukan korporasi atau kegiatan lembaga donor untuk melakukan pendampingan kemasyarakatan. Tiap kampanye sosial harus sama besarnya proporsi resipien (penerima manfaatnya-Red.) baik laki-laki maupun perempuan. Jika tidak, tidak usah saja. Pengemasan kesetaraan bisa sesederhana jumlah orang terlibat yang laki-laki dan perempuan sama besarnya, sampai serumit mendorong bahwa yang memimpin proyek adalah seorang perempuan. Alhamdulillah, hal ini tidak sulit dilaksanakan. Kerap yang sulit adalah meyakinkan kaum laki-laki pemegang duit bahwa sikap ini adalah sikap yang oke dan sahih.
Pada musik tradisional yang dipromosikan selama ini, bagaimana mbak Debra memberi sentuhan ide kesetaraan?
Dalam musik tradisional, kerap kita lihat bahwa penguasanya adalah seorang laki-laki. Tapi hampir selalu, sang primadona, atau penyanyi utama adalah seorang perempuan. Nah, sang perempuan ini bisa punya pilihan menarik: bersikap nrimo–nrimo saja pengarahan yang diberikan oleh sang laki-laki. Tapi sering kita lihat dan tahu primadona yang sadar akan betapa besar peran dirinya dan bersikukuh untuk ikut menetapkan pola-pola penggajian dan pembagian keuntungan dari kelompok musik. Kepada perempuan-perempuan macam itu, apa lagi yang dapat kita katakan, kecuali: “Brava!” (Omong-omong, ‘bravo’ dari Bahasa Italia adalah versi maskulinnya untuk mengatakan “Oke, kamu hebat sekali!” Kita harus hati-hati menggunakan istilah-istilah seperti itu).
Lalu bagaimana dengan kelompok teaternya, bagaimana mbak Debra membangun ide kesetaraan di dalamnya?
Dalam kelompok teater, kita harus dorong sebanyak mungkin anak gadis Indonesia untuk masuk teater dan bercita-cita menjadi produser, pengarah panggung, sutradara, aktris utama, dan penulis naskah. Kita harus berbondong-bondong hadir untuk nonton pertunjukan teater apapun yang diselenggarakan oleh perempuan. Kita harus menyebarkan ke sebanyak mungkin orang naskah drama yang kandungannya mendukung perempuan. Terakhir, mari kita sama-sama menjunjung setinggi-tingginya para perempuan teater Indonesia yang dewasa ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, dan memberi mereka tepuk tangan paling gemuruh. Jangan lupa untuk hadir pada tiap pertunjukkannya, biar nafkah mereka bisa stabil.
Untuk masa depan media budaya, apa harapan mbak Debra? Dan masyarakat Indonesia seperti apa yang diidealkan oleh media budaya?
Media budaya yang ideal seungguhnya ada di dalam Internet. Di dalamnya, semua orang bisa ikut baca, tetapi yang penting semua orang bisa ikut aktif dalam diskusi yang diangkat. Sayangnya, komputer, Internet dan media cyber adalah barang luks untuk lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia. Yang ideal adalah jika kita punya pemerintahan seperti Malaysia di penghujung kekuasaan Mahathir Mohammad, yang mencanangkan: “Satu Komputer untuk Tiap Rumah Menjelang Tahun 2020”. Dua dekade sebelum 2020, di hampir seluruh Malaysia orang sudah melek-komputer. Di ranah cyber, siapa pun boleh bicara apa pun mengenai kebudayaan, dan melemparkan keluh-kesahnya terhadap sikap-sikap diskriminatif yang ada di dalam masyarakat. Inilah media masa depan. Tapi harganya mahal untuk mencapai kondisi yang ideal itu.
Jadi untuk sementara, mari kita lakukan apa yang kita bisa. Jika mau seperti rekan saya Umi Lasmina, mencetak buku puisi mini dengan dana sendiri dan menjualnya di toko buku ternama, itu sudah sangat oke. Jika mau menerbitkan majalah kebudayaan terbatas dengan gaya LSM, itu pun oke. Jika mampu membuat pertunjukan dengan tema kesetaraan, tapi hanya ditonton oleh tetangga se-RT dan se-RW, itu pun oke. Saya paling gembira melihat di hampir tiap SMA di Jakarta, ada kelompok Tari Saman dan seluruh penarinya adalah perempuan remaja. Orang di Aceh sana barangkali tersinggung, karena Tari Saman adalah tarian kaum lelaki, dan untuk perempuan namanya Ratoh Duek. Bagi saya, ini menarik. Secara tidak sengaja, perempuan telah merebut ranah lelaki, dan menjadikannya sesuatu yang khas perempuan. Adat dilanggar? Bisa jadi. Kebudayaan didobrak? Ya, sangat mungkin. Tetapi toh, masyarakat tidak akan berhenti menanggap para gadis remaja itu untuk meramaikan perhelatan yang membutuhkan penampilan kesenian. Dan Tari itu menggambarkan perempuan yang aktif, ceria, dan sangat terlibat di dalam masyarakatnya. Untuk Tari Saman versi anak SMA Jakarta, Cuma satu kata dari saya: Brava! (Hafidzoh).
© 2024 AMINEF. All Rights Reserved.