Dua beasiswa Fulbright US Senior Research—satu pada tahun 1999 dan satu lagi pada tahun 2017—memungkinkan dia menyelami bunyi-bunyian Islami di Nusantara.
Mungkin gambus adalah alat musik yang tidak lazim ditenteng ke sana kemari oleh seorang perempuan Amerika keturunan Skandinavia dan Jerman. Tetapi, bersama sahabatnya qariah Hj. Maria Ulfah, Anne mendekati mikrofon untuk membawakan sholawat dan tawasih, dua genre berbeda nyanyian Islami dengan lirik berbahasa Arab.
Bertahun-tahun gambus itu membukakan banyak pintu bagi Anne, mengantarnya pada banyak persahabatan akrab di Indonesia, Amerika Serikat, dan Teluk Arab. Dalam pekerjaannya sebagai ahli etnomusikologi, pertunjukan musik berkaitan erat dengan beasiswa akademis. Bunyi menjernihkan wawasan intelektual.
Ketika dia menenteng instrumennya dan bergabung dengan musisi lain, kolaborasinya menimbulkan “keintiman kreatif”, kata Anne, 58. “Mencipta musik benar-benar memperluas hubungan kita dan dunia kita.”
Dia mulai bermain gambus dan mewawancarai musisi Arab Amerika pada pertengahan tahun 1980-an sebagai mahasiswa program master di California, dan lama sesudah itu dia melakukan penelitian lapangan di Oman. Pada mulanya, dia tidak pernah mengira jalan musikalnya akan sampai ke Indonesia. Dua beasiswa Fulbright US Senior Research—satu pada tahun 1999 dan satu lagi pada tahun 2017—memungkinkan dia menyelami bunyi-bunyian Islami di Nusantara. Membawa gambusnya ke berbagai acara, Anne mendapatkan sambutan hangat di berbagai pesantren dan pengajian. Dia memperhatikan dengan sungguh-sungguh pola musik Arab yang dipadukan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam berbagai perlombaan dan acara televisi.
Anne menyimpulkan dengan tegas bahwa perempuan di Indonesia memainkan peran jauh lebih aktif dalam pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an daripada perempuan di Timur Tengah. Bertolak belakang dengan negeri-negeri seperti Mesir dan Arab Saudi, Anne mendapati bahwa suara perempuan di Indonesia tidak dianggap “aib atau tercela” dan “tidak merepresentasikan godaan maupun bahaya”. Bahkan, Anne menegaskan, juara MTQ (musabaqah tilawatil Qur’an) wanita Indonesia dipandang sebagai yang terbaik di dunia dan seni vokal mereka sama sekali tidak kalah dari qari (laki-laki yang mahir seni baca Al-Qur’an).
Kerja lintas budaya Anne mendapat penghormatan karena kualitas kepeloporannya. “Tidak ada musikolog lain yang mampu memanfaatkan pengetahuan praktis Arab semacam itu dalam penelitian lapangan tentang musik Islami di Indonesia,” kata Philip Yampolsky, yang merekam, menyunting, dan memberi catatan kritis serial 20 album Music of Indonesia—dirilis oleh Smithsonian Folkways Recordings. Ketika sekelompok besar ilmuwan memusatkan perhatian pada seluk-beluk musik gamelan Jawa dan Bali, karya Anne “menyingkap kekayaan dan keseriusan sebuah tradisi yang sama sekali berbeda di Indonesia,” kata Yampolsky menambahkan.
Bukunya yang berpengaruh, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia, terbit pada tahun 2010. Menurut Andrew Weintraub, profesor musik di University of Pittsburgh, buku itu merepresentasikan “satu dari sedikit studi tentang musik Indonesia yang berfokus pada perempuan, salah satu kekosongan dalam kajian musik Indonesia.” Sebuah buku yang kemudian disunting Anne bersama David Harnish pada tahun 2011, Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia, menyodorkan kepada pembaca ragam bunyi-bunyian Indonesia yang lebih luas, termasuk dangdut, salah satu unsur budaya pop, dan orkes gambus, yang menampilkan musik gambus versi Indonesia.
Anne memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menyebarkan gagasangagasannya. Dia mengajar di College of William & Mary di Williamsburg, Virginia, tempatnya bekerja sebagai profesor musik dan etnomusikologi. “Saya rasa pekerjaan saya lebih mirip kerja pembongkar mitos. Orang Barat beranggapan bahwa Islam adalah agama di mana perempuan mendapat perlakuan lebih buruk,” Anne menjelaskan. Sebagai presiden Society for Ethnomusicology untuk periode 2015–2017, dia mendorong para koleganya untuk melakukan yang terbaik dalam membagi-bagikan hasil penelitian mereka. Oleh karena itulah Anne bekerja sama dengan Kelompok Mizan, Jakarta, untuk terjemahan bahasa Indonesia Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia.
Selama aktivitasnya sebagai peneliti Fulbright pada 2017, dia terlibat dalam 17 lokakarya dan seminar di Jawa dan Sumatra, di mana musik bukan satu-satunya bahasan. Para mahasiswa dan dosen bertanya tentang kehidupan umat Islam di Amerika Serikat dan hambatan yang dihadapi perempuan dalam dunia politik dan akademis.
Fulbright memberi Anne “sebuah pengalaman fundamental dalam kewarganegaraan global yang saya tidak yakin bisa diperoleh hanya dengan duduk di rumah dan membaca New York Times,” Anne menyampaikan pandangannya. “Itu harta karun pelajaran hidup, yang saya harapkan akan menetes lewat pengajaran dan tulisan saya.”
Dibesarkan di Massachusetts, mulanya Anne serius belajar musik klasik untuk piano dan selo. Latihan berjam-jam menghadirkan eksistensi yang sunyi. Dia pun memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam musik teater. Dia senang, tetapi tidak melihat masa depan yang menjanjikan. Lalu, ketika belajar di Northwestern University di Illinois, dia mempelajari jazz—yang membawanya sering tampil di beberapa kelab malam Paris.
Anne menyukai improvisasi, sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari jazz. Dan tepatnya itulah yang menumbuhkan kecintaannya pada musik Arab dan Turki, dengan segala improvisasi ornamentasinya. Di bawah bimbingan A. J. Racy, seorang pemusik andal Lebanon yang mengajar etnomusikologi di University of California, Los Angeles, Anne terpikat pada gambus. Dia juga mendapati bahwa para musisi Arab Amerika menyambut dengan senang hati penampilannya di panggung.
Pengalaman pertama Anne di Indonesia adalah buah dari sejumlah improvisasi pribadi. Pada 1995, suami Anne mendapat pekerjaan di Jakarta dan Anne memutuskan untuk menemaninya. Dari jendela kediamannya, Anne bisa mendengar alunan melodi-melodi Arab dan rasa ingin tahu membawanya melangkah lebih jauh. Di Festival Istiqlal, yang diselenggarakan di masjid ikon Jakarta itu, Anne diperkenalkan dengan perempuan yang nantinya memainkan peran sangat berpengaruh dalam hidupnya: qariah Hj. Maria Ulfah, juara MTQ dan orang penting di balik Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ).
Perjalanannya dalam memahami kaidah-kaidah sosial, politik, dan estetis pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an pun dimulai. Anne menerangkan bahwa pada tahun 1700-an sampai 1900-an, seni baca Al-Qur’an disebarkan oleh para pedagang Muslim yang menetap di pesisir atau jemaah haji Indonesia yang pulang dari Mekah. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, para qari dan qariah ternama dari dunia Arab berkunjung ke Indonesia dan kelak, semasa era Soeharto, mempelajari seni baca Al-Qur’an digalakkan sebagai kewajiban spiritual dan kewarganegaraan.
Maria Ulfah dan suaminya, dokter ahli paru-paru Mukhtar Ikhsan, terkesan oleh ketekunan Anne dalam melakukan riset musik. Ketika berada di Jakarta, rumah mereka menjadi “base camp” Anne. Saat makan sekalipun Anne membawa buku catatan dan pena, terus-menerus mengajukan pertanyaan tentang konteks dan teknik. Dalam sebuah budaya yang sangat mengandalkan tradisi lisan, mereka tidak pernah menjumpai semangat dokumentasi semacam itu. Anne mampu mengulang sebuah melodi dengan mudah, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu sejak pertama kali dia mempelajari bagian itu. “Persis itulah yang saya ajarkan,” kata dosen IIQ kelahiran Lamongan, Jawa Timur, itu dengan kagum.
Para pengajar dan mahasiswa tahu betul bahwa Anne non-Muslim. Tetapi terbukti itu bukan halangan. “Para qari terpukau oleh penampilannya,” kenang Dadi Darmadi yang membantu Anne melakukan wawancara di IIQ pada tahun 1999, sewaktu Anne datang lagi dengan beasiswa Fulbright. Dadi, kini peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), mengatakan bahwa dirinya mendapat banyak manfaat dari diskusi-diskusi panjang dengan Anne, yang penuh dengan kedalaman intelektual dan empati.
Anne sangat berperan dalam mengatur sebuah tur kampus prestisius di Amerika Serikat untuk Maria Ulfah dan suaminya pada tahun 1999 dan sekali lagi pada tahun 2016, dan terus melakukan presentasi bersama dengannya. Pada November 2016, Maria Ulfah membacakan petikan Al-Qur’an sebagai bagian dari upacara pembukaan konferensi etnomusikologi di Washington, DC. Di bawah foto ikon reggae Bob Marley di dinding studio rekaman Ciputat, Anne menyunting lantunan dalam bahasa Arab itu bersama sahabat karibnyanya dari IIQ tersebut, yang tampaknya sudah meyakini peran penting dokumentasi.
Anne juga menjalin hubungan kerja sama yang panjang dengan budayawan Emha Ainun Nadjib, pimpinan kelompok musik gamelan Kiai Kanjeng. Anne sering tampil dengan gambusnya bersama kelompok musik itu selama bertahun-tahun, menggarisbawahi “daya tahan” kelompok musik itu, yang menjalani jadwal ketat tampil di berbagai kota di Jawa dan di banyak tempat lain. Anne menikmati atmosfer improvisasi dengan ramuan ceramah motivasi, humor, dan musik yang sarat makna spiritual.
Hidup di dunia musik cenderung tidak bisa diprediksi. Undangan mendadak sering membawa ke arah baru. Tetapi jejak tetap terpahat. Setelah mendengarkan presentasi Anne pada 3 Juli 2017 di Jakarta, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Masykuri Abdillah, mengatakan, “Saya akan mendukung para mahasiswa kami untuk melakukan riset musik.” Dia ingin melakukan perannya demi memastikan agar lebih banyak orang Indonesia memahami nilai musik, lebih dari sekadar fungsi hiburannya.
Artikel ini tampil di buku Efek Riak: Alumni Fulbright Mengukir Jejak di Dunia (halaman 49-53) yang diterbitkan pada tahun 2017 memperingati ulang tahun ke-25 AMINEF dan ulang tahun ke-65 Fulbright di Indonesia.
Judul asli adalah The Ripple Effect: How Fulbright Alumni are Marking Their Mark on the World. Penulis: Margot Cohen. Penerjemah: Anton Kurnia.
Intiland Tower, Lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 32
Jakarta 10220, Indonesia
Tel : (+62) 21 5793 9085 / 86
Fax : (+62) 21 5793 9089
Office Hours : Monday – Friday, 08.00 – 17.00
The office is closed for Indonesian and US holidays
© 2025 AMINEF. All Rights Reserved.