Alumni & Voices

Dr. James Hoesterey

Jim, kini asisten profesor di Emory University di Atlanta, menjelaskan bahwa salah satu tujuan utamanya membedah pengaruh Aa Gym adalah untuk menelaah “kecemasan dan aspirasi” kelas menengah Muslim di Indonesia.

Di Tengah Orang-Orang Beriman

Antropolog budaya James Hoesterey mendapati dirinya dalam situasi pelik pada Januari 2006 saat menempuh perjalanan dengan mobil dari Bandung ke Jakarta bersama Kyai Haji Abdullah Gymnastiar, dai kondang itu.

Pada puncak popularitasnya, dai yang lazim disapa Aa Gym itu biasa berceramah di hadapan 20.000 orang dan memiliki lebih dari 20 perusahaan, menebar pengaruh besar melalui ceramah di televisi dan seminarseminar psikologi populer. (Sapaan “Aa” berarti “abang” dalam bahasa Sunda.) James sudah meneliti fenomena ini sejak 2005—kehadirannya sedemikian rutin hingga sang dai sering bergurau bahwa mereka adalah pasangan yang berima: “Aa Gym” dan “Aa Jim.”

Ternyata, dalam perjalanan tersebut Aa Gym sedang mengalami salah satu masa paling berat dalam hidupnya. Dia menuai kecaman publik menyusul berita sensasional bahwa diam-diam dia menikah lagi. Episode ini menghidupkan kembali perdebatan panjang tentang poligami di Indonesia. Sang dai berpaling kepada Jim dan melontarkan pertanyaan: Apakah bisa kembali tampil seperti sebelumnya? Jawaban Jim diplomatis. “Apalah saya ini hingga berani-beraninya meramal? Mungkin hanya Tuhan yang tahu nasib kita,” jawab penerima beasiswa Fulbright-Hays itu.

Kepiawaian diplomasi Jim berhasil menjaga saluran komunikasi selalu terbuka. Dia melanjutkan risetnya secara berkala sampai Agustus 2014, kemudian menulis Rebranding Islam: Piety, Prosperity and a Self-help Guru, sebuah kontribusi bagi studi yang berkembang pesat tentang dinamika sosial politik Islam kontemporer. Buku itu menghindari penilaian kritis demi menyampaikan deskripsi detail. Jim, kini asisten profesor di Emory University di Atlanta, menjelaskan bahwa salah satu tujuan utamanya membedah pengaruh Aa Gym adalah untuk menelaah “kecemasan dan aspirasi” kelas menengah Muslim di Indonesia.

Beberapa dekade lalu seorang antropolog lumrahnya menetap di desa terpencil dan menulis laporan dari pedalaman. Masa itu sudah lewat. Seperti yang ditunjukkan karya Jim, banyak juga yang bisa dipelajari di kota, besar maupun kecil. “Para antropolog tidak boleh membiarkan elite politik dan keagamaan hanya dikaji oleh ilmuwan politik,” kata ilmuwan 42 tahun itu. Memanfaatkan berbagai bidang studi media, budaya pop, dan sosiologi, Rebranding Islam juga memiliki tekstur lintas disiplin.

“Mahasiswa jelas bisa belajar banyak hal dari buku yang luar biasa ini, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara Asia lainnya,” kata Dadi Darmadi, peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) di Jakarta. “Buku itu menunjukkan bagaimana media sangat berpengaruh dalam membentuk wajah sebuah agama besar, bahkan sebelum kelahiran media sosial seperti yang kita kenal sekarang,” katanya menambahkan. Buku itu juga sudah menjadi bacaan wajib di, antara lain, University of Michigan dan Northern Illinois University.

Jim tidak membuat buku teks tebal yang kering; ia berusaha menggunakan teknik-teknik narasi nonfiksi dalam karyanya. Dia ingin agar bukunya bisa diakses oleh para mahasiswa program sarjana yang mengikuti mata kuliah seperti Pengantar Agama Islam. Tetapi dia juga menginginkan sebuah gaya yang menarik bagi anggota klub buku ibunya maupun para pembaca pada umumnya. Karena itulah, misalnya, tokoh utama bukunya ia lontarkan dari “saat-saat membanggakan menjadi selebriti nasional menuju hari-hari gelap dan sulit yang penuh hujatan publik”. Pada halaman-halaman terakhir, dia juga melacak perubahan Aa Gym ke arah yang lebih konservatif—sebuah fenomena yang mengundang reaksi sangat beragam di Indonesia.

Alih-alih menampilkan Islam sebagai sebuah kekuatan yang jauh dari Barat, Jim justru menyoroti keterkaitan di antara keduanya. Dia menyebutkan bahwa daftar bacaan pribadi Aa Gym meliputi buku-buku laris Amerika seperti Chicken Soup for the Soul, Emotional Intelligence, dan The 7 Habits of Highly Effective People. Seminar-seminar Aa Gym memadukan psikologi populer Barat dan menggunakan model-model pelatihan sumber daya manusia. Kekecewaan (atau, dalam beberapa kasus, rasa jijik) banyak orang Indonesia terhadap pernikahan kedua sang dai juga mestinya bisa membuat para pembaca Amerika menyingkirkan stereotip dan mengerti bahwa tidak semua umat Islam di seluruh dunia bisa menerima poligami.

Lama tertarik dengan psikologi, Jim percaya bahwa manusia memiliki banyak persamaan, apa pun agama mereka dan di mana pun mereka hidup. Tumbuh di Dallas, Texas, pada mulanya Jim ingin menjadi psikolog anak. Setelah menjadi relawan di sebuah kamp musim panas untuk anak-anak penderita distrofi otot, dia mengetahui bahwa salah satu mantan guru SMAnya sedang mengurus sebuah perjalanan kelompok ke Papua. Dia langsung menyambar kesempatan untuk pergi.

Pemandangan alam Papua membuatnya terpesona, tetapi yang lebih menakjubkan baginya adalah percakapannya dengan orang-orang suku Dani yang bekerja sebagai pengangkut barang untuk kelompok itu. (Salah seorang dari mereka bisa berbahasa Indonesia sehingga penerjemahan percakapan menjadi agak lebih mudah.) Salah seorang pengangkut barang bertanya kepada Jim dan teman-temannya tentang hal aneh yang mereka dengar dari para pelancong lain. Benarkah orang-orang asing mengusir orang tua mereka ketika mereka sudah uzur? Orang-orang Amerika itu mafhum bahwa yang dimaksud oleh orang Dani adalah panti jompo dan membenarkan bahwa memang begitu kenyataannya dalam beberapa kasus. Jim ingat mata lelaki Dani itu berkaca-kaca saat menanggapi, “Bagaimana bisa kalian melakukan itu kepada orang tua kalian?”

Maka dimulailah perjalanan Jim untuk mempelajari lebih jauh tentang ungkapan emosi lintas budaya. Mengingat sulitnya mendapatkan izin penelitian untuk kembali ke Papua, dia mengubah fokus penelitiannya pada orang-orang Minangkabau di Sumatra Barat. Untuk tesis masternya, dia meneliti peran rindu kampung halaman bagi para pemuda yang menjalankan tradisi merantau dari kampung halaman mereka di Sumatra Barat untuk berdagang atau belajar di tempat lain di Indonesia.

Suatu hari, profil Aa Gym di New York Times yang terbit pada saat yang tepat memantik gagasan untuk disertasi doktornya. Jim tahu cara memadukan minatnya pada antropologi, psikologi, agama, dan pemasaran. Tetapi dia sadar bahwa yang paling penting adalah akses. Sopan, penuh hormat, dan memperlihatkan minat tulus untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam, dengan cepat dia menempatkan diri dalam lingkaran pengikut setia sang dai di Bandung.

Beberapa orang Indonesia terkejut melihat keberhasilannya itu. Hermawan Kartajaya, pendiri dan direktur perusahaan konsultan pemasaran MarkPlus, Inc. Jakarta, bertemu Jim saat mengurus penerbitan buku dan talk show dengan Aa Gym. Dia hampir tidak percaya bahwa orang Amerika tinggi kekar dari Texas itu bisa menghuni dunia Aa Gym. “Dia bisa menjelaskan makna hakiki dan mendalam dari Alhamdulillah,” kata Hermawan, seorang Katolik yang dibesarkan di Surabaya. Walaupun tidak masuk Islam, Jim mempelajari ajaran dan ritual agama itu. Hermawan akhirnya mempekerjakan Jim untuk membantu stafnya memasukkan konsep-konsep etnografis ke dalam metode pemasaran mereka. Dia juga diminta berbicara dalam sejumlah seminar pemasaran pada Mei 2007, mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan berbagai lelucon dalam ceramahnya.

Sebenarnya Jim bukan orang baru dalam dunia pemasaran. Saat menunggu pengumuman penerimaan program doktor di University of Wisconsin-Madison, dia bekerja sambilan menangani pemasaran National Basketball Association (NBA) dan Major League Baseball. Pendapatannya itu dipakai untuk menambah biaya perjalanan kembali ke Danau Maninjau, di mana dia menyempurnakan bahasa Indonesianya dan mempelajari lebih banyak kebudayaan Minangkabau.

Saat ini dia sedang menggarap sebuah topik baru yang memadukan pemasaran dan diplomasi. Pada tahun 2015, Jim mendapat beasiswa pascadoktoral Fulbright Scholar untuk melakukan penelitian tentang berbagai upaya pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok Islam lokal dalam mempromosikan Indonesia sebagai pusat Islam “moderat” dan negara demokrasi berpenduduk mayoritas Muslim yang sukses. Penelitian tersebut mencermati berkembangbiaknya definisi-definisi “moderat” yang saling bertentangan, seperti yang digunakan oleh kelompok-kelompok seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama Republik Indonesia. Penelitian itu juga mencermati bagaimana etika dan ideal-ideal Islam memainkan peran dalam diplomasi publik. Salah satu contohnya, Jim mengamati sebuah pelatihan sumber daya manusia untuk menyebarkan konsep NU tentang “Islam Nusantara.”

Pada tahapan ini, Jim menyadari bahwa upaya-upaya semacam itu mungkin tidak akan mengubah pikiran tokoh-tokoh yang sangat konservatif di Timur Tengah. Tetapi, menurut Jim, pengakuan terhadap Islam “moderat” yang didukung pemerintah Indonesia mungkin bisa membuahkan hasil signifikan di dalam negeri. “Saya melihat sebuah nilai yang luar biasa,” katanya seraya menyebutkan kebanggaan karena menyumbangkan sebuah visi kepada dunia.

Pada Juli 2017, Jim membagi temuan-temuan awalnya kepada para sejawat akademis dalam sebuah seminar di Jakarta. Umpan balik yang bermunculan sangat membesarkan hati. Dikenal sebagai pembicara yang energetik, Jim juga dipuji karena relevansi topik penelitiannya. Makalahnya dipandang “menarik sekaligus tepat pada waktunya dalam era teror di satu pihak dan Islamofobia di pihak lain,” kata Muhamad Ali, direktur program Kajian Timur Tengah dan Islam di University of California di Riverside. “Menjelaskan mengapa dan bagaimana elite membangun gagasan dan memberlakukan sebuah program yang mereka pandang krusial bagi bangsa” adalah sesuatu yang perlu dilakukan.

Sewaktu terus mengeksplorasi Islam di Indonesia, Jim juga mendapatkan gizi dari persahabatannya. “Fulbright adalah program terbaik dalam diplomasi publik yang pernah ada di Amerika Serikat,” kata Jim. “Program itu memberi kesempatan untuk menjalin hubungan, orang dengan orang. Jika saya melihat harapan dalam diplomasi global, itu karena ia tidak hanya dilakukan para diplomat di ruangan-ruangan hotel mahal—tetapi juga dilakukan orang-orang Amerika yang menggarap proyek-proyek di perdesaan dan mereka yang berusaha memahami seni dan budaya. Inilah bagian tak terpisahkan dari sebuah upaya diplomasi lebih luas.”

Last Updated: Apr 18, 2019 @ 1:42 pm

Artikel ini tampil di buku Efek Riak: Alumni Fulbright Mengukir Jejak di Dunia (halaman 23-27) yang diterbitkan pada tahun 2017 memperingati ulang tahun ke-25 AMINEF dan ulang tahun ke-65 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah The Ripple Effect: How Fulbright Alumni are Marking Their Mark on the World. Penulis: Margot Cohen. Penerjemah: Anton Kurnia.

WordPress Video Lightbox