Alumni & Voices

Dr. Yoda Rante Patta

Jelas sekali, pengalamannya di MIT didukung oleh beasiswa Fulbright Doctoral Degree sangat mendasar bagi pembentukan gagasan-gagasannya tentang pencapaian akademik dan perekrutan staf pengajar untuk mendukung metode itu.

Tinggikan Standar

Kadang-kadang yang diperlukan untuk menerangkan alam semesta adalah segenggam marshmallow.

Pemahaman itu muncul ketika mengajar kelas inovatif di Massachusetts Institute of Technology (MIT), tempat Yoda Rante Patta mengasah keterampilan mengajar. Pada tahun 2011, dia meminta para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Evolusi Mikrostruktural dalam Material menggunakan marshmallow warna-warni untuk membuat diorama yang menggambarkan bagaimana atomatom saling berhubungan. Para mahasiswa melakukan tugas itu dengan senang hati, membentuk elektronelektron yang sangat lengket dalam prosesnya.

Kini tugas Yoda adalah mencetak sekelompok ilmuwan dan insinyur muda dari Universitas Sampoerna, sebuah lembaga pendidikan swasta yang terakreditasi pada tahun 2013 di Jakarta. Pada usia yang masih amat muda, 32 tahun, Yoda sudah diangkat menjadi Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. Baru dua tahun menjabat, pengabdiannya dalam mengembangkan metode belajar sudah dikagumi secara luas. Jelas sekali, pengalamannya di MIT— didukung oleh beasiswa Fulbright Doctoral Degree—sangat mendasar bagi pembentukan gagasan-gagasannya tentang pencapaian akademik dan perekrutan staf pengajar untuk mendukung metode itu.

Siapa pun yang melintasi ambang kantor dekan pasti akan melihat “Pledge of Academic Integrity” (Ikrar Integritas Akademis) yang dipasang tinggi-tinggi di panel kaca. “Universitas swasta bisa memiliki dampak besar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi. Tetapi itu harus dilakukan dengan benar, dengan integritas dan standar-standar akademis yang tinggi,” Yoda, 34, menegaskan. “Mahasiswa bukan konsumen. Mereka di sini untuk meraih pengetahuan dan keterampilan.”

Keterampilan dasar itu termasuk kefasihan dalam bahasa Inggris. Inggris adalah bahasa pengantar dalam semua perkuliahan di Universitas Sampoerna, di mana gelar sarjana teknik menjadi jalan untuk mendapatkan diploma yang diakui oleh Louisiana State University di Amerika Serikat. (Sebagian besar universitas di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.) Karena itulah Yoda harus berpijak di dua dunia. Selain harus bekerja keras memenuhi persyaratan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Indonesia, dia juga harus bernegosiasi dengan mitranya di Louisiana. Ini membuat Yoda menjadi seorang perintis akademis di sebuah dunia di mana generasi muda Indonesia harus berusaha keras memenuhi standar internasional.

Yoda mengomentari eksistensi hibridanya. “Saya selalu merasa agak seperti orang asing di mana pun saya berada. Saya berusaha menerima itu,” ujarnya.

Para kolega Indonesianya menghargai gaya komunikasi lugas Yoda, sebab mereka sering merasa terhambat oleh dialog tidak langsung yang sudah lama dianggap sebagai norma budaya. “Dia bersuara lantang dan memiliki argumen yang kuat tentang kurikulum kami,” kata Soepriyatna, Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Sampoerna.

Dalam beberapa rapat, Soepriyatna mengandalkan Yoda untuk menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap berbagai persoalan. “Ternyata berhasil!” ujar Soepriyatna seraya menjentikkan jemarinya.

Bahasa Inggris Yoda sempurna, tetapi dulu tidak demikian. Dilahirkan di Bandung, dia pindah ke Amerika Serikat pada usia empat tahun saat ayahnya menyelesaikan gelar master dalam studi perkotaan. Dia pulang ke Indonesia untuk masuk sekolah dasar, melupakan hampir semua kata Inggris yang pernah dikenalnya. Ketika keluarganya memutuskan kembali ke Amerika Serikat, Yoda masuk kelas 8 di Somerset County, New Jersey, nyaris tanpa kemampuan berbahasa Inggris.

Dia merasakan ambisi meledak-ledak untuk membuktikan diri. Tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah melesat dari kelas ESL (English as a Second Language) menjadi lancar mempelajari berbagai ensiklopedia, menulis makalah canggih tentang antimateri untuk pelajaran kimia. Setelah melompat beberapa kelas, Yoda masuk Rutgers University di New Jersey pada usia belia: 16 tahun. Kembali dia tampil cemerlang. Stephen Danforth, Ketua Jurusan Keramik dan Teknik Material di Rutgers University waktu itu, menyebut Yoda sebagai “mahasiswa program sarjana terbaik yang pernah saya kenal selama 26 tahun terakhir,” dalam sebuah surat rekomendasi.

Walaupun Yoda harus melakukan tiga pekerjaan paruh waktu untuk membantu pembiayaan pendidikannya, dia masih punya waktu untuk mengurus banyak perjalanan, pertunjukan budaya, dan rapat orientasi sebagai presiden Perhimpunan Mahasiswa Internasional. “Dia memiliki energi dan semangat sepuluh mahasiswa,” kata Marcy Cohen, Direktur Pusat untuk Fakultas Internasional dan Layanan Mahasiswa di Rutgers waktu itu.

Tinggal setahun lagi di Rutgers menuju kelulusan dengan predikat distinction (cum laude), tiba-tiba dia berubah haluan. Dia rindu Indonesia. Dia tak ingin mengorbankan persahabatan erat yang bisa dijalin selama tahun-tahun kuliah di lingkungan asalnya. Yoda pun mulai dari awal lagi, pada usia 19 tahun, di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengerjakan struktur nano, dia merasakan kegembiraan dari eksperimen laboratorium yang sukses. “Bagian terbaiknya adalah merasa menjadi orang Indonesia lagi, dan merasa diterima,” Yoda mengenang

Studi pascasarjana membawanya kembali ke Amerika Serikat pada tahun 2005, berkat beasiswa Fulbright Doctoral Degree. Di MIT, dia tak hanya menemukan sekelompok orang penuh semangat yang sama, tetapi juga mereka yang ingin memperbaiki dunia dengan satu dan lain cara. Di bawah naungan Forum Teknologi dan Budaya MIT, Yoda berusaha membangkitkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan dan kemudian menggabungkan minat itu dengan kerja laboratorium dalam mengurangi timbulnya bekas luka pada perempuan yang mengalami serangan. Di samping tesis masternya yang berkaitan dengan superkonduktor, dia menggalang dana untuk kelompok bantuan internasional Doctors Without Borders. Untuk gelar PhD dalam bidang sains dan rekayasa material, dia mengubah arah lagi, menerjunkan diri dalam upaya-upaya merancang sebuah perangkat biomedis bagi penderita kanker otak. Yoda menggambarkan MIT sebagai “tempat yang mendorong tumbuhnya pertanyaan-pertanyaan kritis, dan memungkinkan saya menemukan diri sendiri.” Tetapi dia selalu berencana pulang ke Indonesia, di mana dia merasa bisa memberi dampak maksimum.

Dia mendapati kepuasan paling konsisten dalam mengajar—mula-mula sebagai asisten dosen, lalu sebagai dosen. Dalam kuliah dan bimbingan tatap muka, dia jadi tahu ada banyak pendekatan untuk pembelajaran, termasuk pendekatan terhadap cara berpikir yang lebih berorientasi artistik ketimbang matematis. Marshmallow hanyalah permulaan. Di Jakarta, dan dalam kuliah belum lama berselang di Australia, Yoda menjadi bintang dalam menggabungkan seni (art) dengan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), membuat akronim itu menjadi STEAM. Dia masih mengajar sampai dua kelas setiap semester.

Maka tidak mengherankan jika dia juga mendukung upaya-upaya untuk mendorong lebih banyak perempuan muda meraih gelar sarjana teknik— dan mempekerjakan mereka. Yoda mencatat adanya persoalan banyak perempuan yang tak bisa menggunakan ijazah mereka untuk bekerja, karena hambatan dunia akademis. Pada saat Open House di Sampoerna, dia memastikan agar banyak perempuan muda menjadi duta mahasiswa di stan fakultas sains dan teknologi, bahkan Yoda sendiri menikmati membaur dengan anak-anak SMA berwajah kagum yang datang membawa banyak pertanyaan.

Tentu saja dia punya pengalaman dengan orang-orang yang meremehkannya. Sosok mungil (tingginya sekitar 1,5 meter lebih sedikit) dan pembawaan ramah Yoda kadang-kadang mengecoh orang. Seorang pelamar kerja yang tidak tahu diri terus mengoceh, akhirnya bertanya kepada Yoda, “Kapan saya bisa bertemu dengan dekan?” (Laki-laki itu akhirnya tidak mendapat pekerjaan, kenang Yoda diiringi tawa kecil.)

Sekitar 30 persen isi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sampoerna adalah perempuan. Sebetulnya itu persentase bagus dibandingkan dengan statistik fakultas di negara-negara lain, tetapi tidak cukup di mata Yoda. Dia berusaha mendorong para staf perempuan untuk percaya pada potensi mereka sendiri. Shinta Dewi, lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa dirinya bersyukur menemukan Yoda sebagai panutan. Kini, bekerja sebagai koordinator laboratorium sains di Sampoerna, dia berusaha menyempurnakan bahasa Inggrisnya. Yoda mendorongnya untuk “melampaui batasnya” dan mengeksplorasi kemungkinan untuk melanjutkan kuliah pascasarjana di luar negeri. “Saya orang tertutup dan kadang-kadang tidak percaya diri,” kata Shinta, 26, mengakui. “Dr. Yoda selalu ‘challenge’ saya.”

Latar belakang bergengsi MIT Yoda juga menjadi magnet bagi staf pengajar untuk mendaftar. Ammar Aamer, asal Yaman, mengakhiri pendidikannya di Amerika Serikat dengan meraih gelar doktor teknik industri di University of Tennessee. Bukannya menetap di Amerika, atau kembali ke negaranya yang dirobek perang saudara, dia memilih memindahkan keluarganya ke Jakarta dan masuk Sampoerna. “Dia lulusan MIT, itulah salah satu yang mendorong saya bekerja di sini,” kata Ammar menjelaskan. “Dia sangat hangat, dan sangat mengayomi.” Soepriyatna menambahkan, “Orang akan mendengarkan pendapatnya karena dia lulusan MIT.”

Sebenarnya, sebelum Yoda bergabung dengan Sampoerna, dia sempat mampir ke sektor korporat. Menyusul setahun riset pascadoktoral di Stanford University, dia menerima pekerjaan sebagai konsultan Boston Consulting Group (BCG) di Jakarta. Dia merasa tidak cocok. Untunglah, seorang mitra di BCG memperkenalkannya pada tim Sampoerna. Dan, sewaktu merancang sebuah metode baru untuk proyeksi finansial, Yoda mendapati bahwa kerja korporat memberinya perangkat yang tepat untuk memandu kolega-kolega akademisnya dalam membuat spreadsheet untuk memenuhi tenggat.

Upaya menghadirkan pendidikan bergaya Amerika di Indonesia memakan waktu lama dan menghendaki kerja multitasking luar biasa. Semua itu adalah proses pembelajaran. Bagi Yoda, bagaimanapun juga, tatapan seketika paham di wajah seorang mahasiswa bisa menjadi imbalan paling manis.

Last Updated: Apr 18, 2019 @ 1:36 pm

Artikel ini tampil di buku Efek Riak: Alumni Fulbright Mengukir Jejak di Dunia (halaman 17-21) yang diterbitkan pada tahun 2017 memperingati ulang tahun ke-25 AMINEF dan ulang tahun ke-65 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah The Ripple Effect: How Fulbright Alumni are Marking Their Mark on the World. Penulis: Margot Cohen. Penerjemah: Anton Kurnia.

WordPress Video Lightbox