Fulbright, Perekat Masyarakat Indonesia dan AS

Ketika hubungan geopolitik Indonesia-AS renggang sekalipun, Fulbright merekatkan masyarakat kedua negara. Ini wujud diplomasi paling nyata dan organik.

Bagi masyarakat Indonesia, beasiswa Fulbright dikenal sebagai salah satu jalan untuk membantu menempuh pendidikan tinggi, terutama untuk strata dua (S-2) dan strata tiga (S-3). Fulbright adalah bagian dari diplomasi lunak Amerika Serikat yang sudah berlangsung sejak 1947 dan menjangkau 160 negara.

Di Indonesia, beasiswa Fulbright dikelola oleh Yayasan Pertukaran Amerika Serikat dan Indonesia (Aminef). Sekarang, program beasiswa pascasarjananya juga mencakup para akademisi perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama.

Pada Senin (3/2/2025), Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump mengumumkan menutup Badan Bantuan Internasional AS (USAID). Hal itu mengundang pertanyaan dari lembaga swadaya masyarakat serta orang-orang Indonesia mengenai berbagai program pemberdayaan yang dibiayai USAID.

Beasiswa Fulbright turut menjadi bahan pertanyaan mengingat program ini salah satu andalan bagi warga Indonesia untuk meningkatkan strata pendidikan. Pada Selasa (4/2/2025), Aminef menjawab bahwa Fulbright selama 73 tahun ini terus melaksanakan komitmen mempromosikan pertukaran pendidikan internasional.

Secara umum, program Fulbright selalu didukung, terlepas pemerintah yang berkuasa. Oleh sebab itu, Aminef optimistis kerja sama di bidang pendidikan ini tidak akan melemah.

”Program Fulbright ini hadir di Indonesia sejak tahun 1952. Melalui program ini terbukti pendidikan adalah kunci untuk saling memahami masyarakat antarnegara,” kata Direktur Aminef Alan Feinstein di Jakarta, Jumat (17/1/2025).

Ia menjelaskan, duta sejati suatu negara dan bangsa adalah rakyat. Ini wujud diplomasi paling nyata dan organik. Hubungan antarmasyarakat itu jujur, bebas dari syarat ataupun embel-embel geopolitik, sehingga tercipta perasaan saling memahami dan menghormati.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Direktur Yayasan Pertukaran Amerika-Indonesia (Aminef) Alan Feinstein (depan), Pejabat Senior Fulbright Adeline Widyastuti (kiri), Pejabat Program Fulbright Astrid Lim, dan Pejabat Komunikasi Aminef Maya Purbo di Jakarta, Jumat (17/1/2025).

Program Fulbright tidak sebatas pendidikan pascasarjana. Khusus bagi peserta dari AS, terdapat program mengajar bahasa Inggris di SMA dan lembaga pendidikan sederajat se-Indonesia. Di sini, mereka memiliki pengalaman berinteraksi langsung dengan para siswa dan guru.

Bahkan, program untuk para akademisi perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama juga tidak selalu kuliah mengenai agama di AS. Banyak yang mengambil jurusan ilmu-ilmu sosial dan politik, hukum, sains, dan teknologi.

Satu-satunya aspek yang tidak disentuh oleh Fulbright ialah jurusan yang mensyaratkan peserta didiknya bersentuhan langsung dengan orang sakit. Kedokteran dan keperawatan masuk dalam bidang yang tidak difasilitasi Fulbright.

Terbesar kedua

Di Indonesia, sudah ada 3.356 alumnus program Fulbright. Beberapa yang terkenal ialah Iwan Tirta, Hasjim Djalal, Anies Baswedan, Agus Salim, Hassan Shadily, dan Nasaruddin Umar.

Dari sisi peserta berkebangsaan AS, ada 1.421 orang yang mengikuti program Fulbright ke Indonesia. Salah satu yang paling terkemuka ialah William Liddle, pakar isu Indonesia dari Universitas Ohio.

Program Fulbright di Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia. Negara dengan program Fulbright terbesar adalah Pakistan.

”Pada awal-awal program selalu ada kekhawatiran dari peserta Fulbright, baik yang dari Indonesia maupun AS. Misalnya, mereka yang mau ke AS ketakutan akan islamofobia dan kekerasan senjata api. Peserta yang mau ke Indonesia khawatir dengan isu keamanan dan makanan yang tidak cocok,” tutur Feinstein.

Berdasarkan cerita para peserta, bias itu sirna ketika mereka tiba di tujuan masing-masing. Kampus-kampus di AS dan Indonesia berpikiran terbuka. Beragam pertanyaan sensitif dari warga lokal yang penasaran kepada peserta bisa diatasi dengan dialog terbuka.

ARSIP AMINEF
Brady Allen (ketiga dari kiri), pengajar bahasa Inggris dari Amerika Serikat yang mengikuti program Fulbright di SMKN 1 Kutalimbaru, Sumatera Utara, berfoto bersama murid-muridnya pada Desember 2024.

”Kami menekankan kepada para peserta bahwa mereka mungkin akan menghadapi pertanyaan yang tidak menyenangkan dari warga lokal di Indonesia maupun AS. Mayoritas pertanyaan ini tidak bermaksud jahat, melainkan warga tersebut mungkin baru pertama kali bertemu dengan orang asing,” kata Feinstein.

Ia menjelaskan, Fulbright merupakan wadah yang baik untuk mengenalkan keragaman bangsa AS ataupun Indonesia. Masyarakat AS terpapar para peserta Fulbright dari Indonesia yang berasal dari aneka kelompok etnis, agama, dan budaya.

Masyarakat Indonesia pun bertemu dengan peserta Fulbright dari AS yang bermacam-macam. Ada keturunan Eropa, Asia, atau Afrika. Mereka juga menganut beragam agama ataupun kepercayaan. Hal ini membantu membangun persepsi bahwa Indonesia dan AS bukanlah bangsa yang monolitik.

”Bahkan, pada masa-masa sulit sekalipun, salah satunya peristiwa 11 September 2001, antusiasme warga AS dan Indonesia mengikuti Fulbright tidak luntur. Justru para intelektual menganggap kedua belah pihak harus kian mengenal satu sama lain,” ujar Feinstein.

Merata

Feinstein menerangkan, komposisi peserta Fulbright di Indonesia kini didominasi perempuan. Jumlahnya setara dengan 60 persen peserta. Ini aspek yang membanggakan dan contoh positif bagi dunia.

Bagi perguruan tinggi di Indonesia yang mengirim tenaga pengajarnya mengikuti Fulbright, mayoritas menekankan pada bidang sains, teknologi, keinsinyuran, dan matematika (STEM). Sebaliknya, perguruan tinggi AS ingin memperkuat pengetahuan bidang humaniora mereka tentang Indonesia.

Khusus untuk peserta program S-3 dari Indonesia, Fulbright menyediakan dana 43.000 dollar AS (Rp 701 juta) per tahun. Uang itu termasuk biaya kuliah, buku, dan transportasi.

Bagi peserta pascasarjana S-2, tersedia beasiswa 52.000 dollar AS (Rp 848 juta) setiap tahun. Jumlah beasiswa untuk mahasiswa S-2 lebih besar dibandingkan beasiswa S-3. Alasannya, mahasiswa S-3 biasanya bisa memperoleh penghasilan sampingan dengan cara menjadi asisten dosen ataupun asisten peneliti.

ARSIP AMINEF
Maria Osman (tengah), peserta program Fulbright dari Amerika Serikat, menunjukkan permainan tradisional AS, limbo, kepada para murid di SMK Abdurrab, Pekanbaru, Riau, pada Desember 2024.

Alumni Fulbright yang sudah kembali ke Tanah Air tidak bisa serta-merta memutus hubungan dengan Aminef. Mereka diminta untuk membantu menyebarluaskan informasi mengenai beasiswa Fulbright kepada lingkungan masing-masing.

Biasanya, hal itu dilakukan melalui kuliah umum kepada masyarakat lokal. Para alumnus di Lhokseumawe (Aceh), Belu (Nusa Tenggara Timur), Polewali Mandar (Sulawesi Barat), dan Sintang (Kalimantan Barat) sudah mempraktikkannya.

Minat untuk mendaftar ke program nondiploma, kata Feinstein, meningkat. Program ini memungkinkan peserta mengajar bahasa Indonesia di AS untuk beberapa bulan. Ada juga program magang dan kursus di akademi komunitas (community college).

”Kami juga mempromosikan program heritage bagi warga AS keturunan Indonesia. Ini kesempatan bagi mereka untuk mengenal lebih mendalam mengenai tanah nenek moyangnya,” ujarnya.

Last Updated: Mar 3, 2025 @ 11:17 am
WordPress Video Lightbox