Alumni & Voices

Grace Wivell

Saya menyukai energi murid-murid saya, yang kadang-kadang memang perlu dikendalikan, tetapi sejujurnya itulah alasan saya datang bekerja setiap hari,” tulis Grace di sebuah blog yang mencatat secara kronologis tiga tahun keberadaannya di Indonesia

Menyalakan Pikiran

Tidak mau membikin susah murid-muridnya dengan pelajaran tata bahasa kering tentang kalimat pengandaian, guru bahasa Inggris Grace Wivell punya ide bagus.

Dia membesarkan volume lagu “Perfect” yang dibawakan penyanyi rock Inggris Emma Blackery dan meminta murid-muridnya membuat video. Para remaja ceria di Malang, Jawa Timur, itu menuliskan kata-kata di kertas yang dilambai-lambaikan ke kamera, seperti “I wish I were a zombie,” dan “I wish I were brave”. Mereka juga menulis tentang kekuatan mereka, karena lagu itu menekankan penerimaan diri. Seorang siswa berkacamata menyeringai dan mengangkat tulisan “I am perfectly imperfect.”

Grace menyunting video itu dan mengunggahnya di YouTube. Sekejap kemudian, sang bintang rock mencuitkan tautan itu kepada para penggemarnya di seluruh Eropa. Para pelajar di Jawa Timur itu pun kegirangan.

Pengalaman di SMAN 10 Malang pada tahun 2015 itu hanyalah salah satu bukti bagi kemampuan ajaib Grace dalam menggugah semangat. “Saya menyukai energi murid-murid saya, yang kadang-kadang memang perlu dikendalikan, tetapi sejujurnya itulah alasan saya datang bekerja setiap hari,” tulis Grace di sebuah blog yang mencatat secara kronologis tiga tahun keberadaannya di Indonesia—pertama, sebagai guru di Malang, lalu di Gorontalo, Sulawesi, dan akhirnya di Jakarta sebagai koordinator Fulbright English Teaching Assistants (ETAs) angkatan 2016–2017 yang disebar ke seluruh Indonesia oleh American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF).

Masa kerja yang lama itu meninggalkan jejak panjang penghargaan. Di Sulawesi, seorang kolega Indonesia yang mengajar bahasa Inggris bersama Grace memuji kepiawaiannya menghidupkan suasana gembira dan keterlibatan di kelas. “Biasanya, saya mulai dengan materi pembelajaran. Tapi sekarang saya berusaha menggabungkan pelajaran dengan permainanpermainan menarik yang relevan dengan materi pengajaran kami,” kata Miswarty Ayub, yang mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Gorontalo

Di luar ruang kelas, dukungan tak henti-henti Grace bagi relawan baru ETA juga dipuji. Tidak hanya dalam masa-masa sulit, tetapi juga dalam berbagi hasrat untuk merasakan sendiri pengalamannya ketika ada penempatan baru. Julius Tsai, mantan relawan ETA di Magelang, Jawa Tengah, mengenang salah satu momen favorit ketika Grace datang berkunjung dan mereka pergi ke alunalun untuk makan kupat tahu. Julius takjub dengan hasrat Grace “untuk mempelajari kekayaan (dan kelezatan) Indonesia”.

Dia juga jenis guru yang mau membuatkan kue apel goreng untuk siswasiswi kelas 10 setelah menganalisis sebuah kisah tentang Johnny Appleseed, kenang Tri Luhpalupi, guru bahasa Inggris di Malang. Pada kesempatan lain, Grace membeli semangka (bukannya labu) untuk perayaan Halloween dan mengajari para murid cara mengukirnya.

Dia berusaha menerima kesulitan-kesulitan kecil di perdesaan, seperti pemadaman listrik. Pemadaman listrik “memaksa kita mencabut kabel, memperlambat irama hidup, lalu melangkah keluar. Seperti itu bisa menyenangkan,” tulis Grace di blognya.

Grace adalah utusan dari jantung perdesaan Amerika. Guru 25 tahun itu tumbuh di serangkaian peternakan sapi perah, keluarganya menetap di dusun Deansboro di New York utara yang dihuni 1.300 penduduk. Semasa sekolah menengah, dia memilih homeschooling selama tiga tahun agar mempunyai lebih banyak waktu untuk berpartisipasi dalam 4-H, sebuah jaringan organisasi pemuda yang didirikan pada 1902 dan menawarkan aktivitasaktivitas, antara lain, yang terkait dengan pertanian dan peternakan. Dalam serangkaian Dairy Quiz Bowls dan Skill-a-Thons, dengan gampang dia menjawab kuis tentang sapi, menilai kualitas jerami, dan mengarak kambing.

Salah satu daya tarik utama yang ditawarkan adalah kesempatan bepergian ke tempat-tempat seperti Kentucky dan Pennsylvania untuk mengikuti kompetisi. Selain mempelajari berbagai praktik beternak di Amerika Serikat, Grace juga berinteraksi dengan beberapa ahli internasional dari Rusia, Jerman, dan Argentina. Itulah kilau cahaya pertama sebuah dunia yang lebih luas. Seorang bibi orang tuanya, yang pernah bertugas sebagai perawat di Angkatan Laut AS, juga menceritakan kisah perjalanan ke Korea Utara dan Eropa Timur.

Di masa remajanya, Grace tidak terlalu beruntung dalam mempelajari bahasa asing. Dia mencoba-coba bahasa Prancis, Jerman, dan Latin, tetapi tidak ada kata yang menempel di kepalanya.

Sebagai sarjana bahasa Inggris dan penyair muda berbakat, Grace menerapkan gagasan-gagasan tersebut dalam mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Amerika Serikat. Murid-muridnya, pada tahun 2014, meliputi para pengungsi dari Korea Utara, bersama para pemuda dari Rusia, Spanyol, dan Cina. Dia juga mengikuti program sertifikasi guru untuk kelas 7–12. Para profesornya memandang Grace sebagai pekerja keras, melaksanakan ratusan jam tugas di berbagai sekolah lokal dan pusat komunitas, melebihi persyaratan.

Akhirnya, Grace membawa kredo guru bahasa Spanyolnya ke Indonesia, dalam upayanya belajar bahasa Indonesia di lapangan maupun mengajar bahasa Inggris di Malang dan Gorontalo. “Ini soal jangan takut dan jangan khawatir,” katanya. “Bicara saja, dan cobalah berkomunikasi.”

Dia tiba di Indonesia dengan pengalaman mengajar yang jauh lebih banyak daripada sebagian besar relawan ETA yang lain. Meskipun mereka yang lolos seleksi memiliki keunggulan dalam bermacam-macam hal, termasuk dalam kepemimpinan dan pelayanan komunitas, gelar dalam pengajaran tidak disyaratkan. Menyadari perlunya pengetahuan dasar tentang pengajaran yang cepat dan praktis, Grace bekerja membenahi rapat orientasi dan pertemuan pengayaan tengah tahun dalam perannya sebagai koordinator ETA.

Misalnya, dia menyampaikan sejumlah teknik dalam manajemen ruang kelas. Teknik itu bisa sesederhana bertepuk tangan untuk mendapatkan perhatian murid, atau mengatakan “semua lihat saya”. Dalam sebuah prakarsa ambisius, Grace dan seorang guru Amerika yang ditempatkan di Kalimantan menyisir alumni program ETA dan menyusun sebuah basis data besar bahan-bahan pelajaran dari tahun-tahun sebelumnya. Google Drive mempermudah pekerjaan mereka. “Saya pikir ini adalah salah satu sumber daya paling berharga yang harus dimiliki relawan ETA,” kata Mackenzie Findlay, yang bekerja bersama Grace dalam proyek tersebut setelah menyelesaikan penugasannya di Palangkaraya, Kalimantan Tegah, dan pindah untuk mengajar tahun kedua di Kendari, Sulawesi Tenggara. “Bersama para relawan ETA yang lain, saya sangat bersyukur memiliki data ini saat menyiapkan pelajaran tahun ini.”

Dalam beberapa hal, kurangnya pengalaman dan kemampuan berbahasa Indonesia para relawan ETA bisa juga dilihat sebagai keuntungan, terutama dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Ketika siswa melihat bahwa seorang guru “perfectly imperfect” (seperti dalam video yang dicuitkan), mereka jadi bisa rileks. Barangkali rasa takut dalam belajar bahasa Inggris bisa berkurang ketika siswa bisa menangkap bahwa guru mereka juga bersusah payah mempelajari bahasa Indonesia.

Merenungkan interaksi dengan para siswa yang pada mulanya takut, para relawan ETA sering mengatakan kepada Grace, “Tiba-tiba saja mereka bisa berbahasa Inggris ketika ingin mengajariku bahasa Indonesia!” Ini memunculkan ide membuat serial video berjudul “The Bahasa Project”, di mana Grace meminta murid-muridnya untuk memilih kata-kata seperti “rajin” dan “sopan” dan memberikan artinya dalam bahasa Inggris dengan skrip sederhana. Grace berharap para relawan ETA di masa mendatang akan berlanjut mengikuti alur ini.

Di kelas, Grace juga melakukan upaya untuk memperkenalkan keberagaman. Sebagai seorang Amerika kulit putih, dia tahu bahwa dirinya dipandang persis seperti yang disangka murid-muridnya. Oleh karena itulah dia berusaha memperluas pandangan mereka dengan mendiskusikan warisan para pemimpin inspiratif pada bulan Sejarah Kulit Hitam, dan dengan memberi tugas membaca cerita rakyat Indian. Murid-murid tampak senang dengan karakter binatang yang bertingkah seperti manusia. “‘Gagak Pelangi’ selalu mengena,” kata Grace mengenang.

Grace memutuskan untuk melanjutkan pendidikan master dalam linguistik terapan di Stony Brook University di New York pada tahun 2017. Dia masih ingin menjadi guru. Sebelum perkuliahannya dimulai pada bulan Agustus, dia bisa dijumpai di Perpustakaan Umum Waterville, menata pajangan kain tenun tangan yang dia kumpulkan dari Nusa Tenggara Timur, Sumatra, Sulawesi, dan Jawa. Dalam gaya klasik duta budaya Fulbright, dia berjanji untuk terus mencari jalan guna “berbagi pengalaman saya, sehingga tidak hanya bermanfaat bagi diri saya sendiri.”

Last Updated: Apr 18, 2019 @ 3:40 pm

Artikel ini tampil di buku Efek Riak: Alumni Fulbright Mengukir Jejak di Dunia (halaman 61-65) yang diterbitkan pada tahun 2017 memperingati ulang tahun ke-25 AMINEF dan ulang tahun ke-65 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah The Ripple Effect: How Fulbright Alumni are Marking Their Mark on the World. Penulis: Margot Cohen. Penerjemah: Anton Kurnia.

WordPress Video Lightbox