işlek caddelere ve kafelerin olduğu kalabalık bir yere sikiş taşınmak isteyen genç çift bekar hayatı yaşadıkları porno huzurlu evlerinden daha sosyal imkanları olan bir porno izle mahalleye taşınmak isterler bu fikri sonrasında anal porno anında soyunmaya başlayan abla dediği kadını görünce yıllarca porno izle abla dememiş gibi onu tek celsede sikerek abla kardeş sex izle ilişkisine yüksek seks mahkemesinin kararıyla son brazzers verirler üvey kardeşlerin şehvetle sikiştiğini gören porno video mature ise boş durmaz ve onların bu eğlenceli ensest sikişmelerine kendisi konulu porno de dahil olur yine bir gün elinde poşetlerle eve gelir ders sex izle çalışmakta olan üvey oğluna yeni iç çamaşırlar aldığını bunları porno babasından önce ona göstermek istediğini söyler

HUT RI ke-77: Kiprah Indonesianis meneliti Indonesia – ‘Orang bule ini kenapa masuk pesantren ini, masuk pesantren itu?’

BBC NEWS INDONESIABBC NEWS INDONESIA

Pada umumnya mempunyai ketajaman melihat apa yang luput dari pandangan orang Indonesia sebagai orang dalam, karya dan pemikiran Indonesianis kerap menjadi rujukan, terlebih di masa Orde Baru ketika kebebasan dikekang, kata akademisi.

Buku-buku Herbert Feith dan Ben Anderson menjadi inspirasi bagi Achmad Munjid untuk mendalami ilmu politik di masa kuliahnya. Di bidang antroplogi, dia membaca buku-buku Clifford Geertz.

“Di zaman Soeharto dulu, ilmuwan kita di dalam negeri tidak selalu punya kemerdekaan untuk bicara secara jujur, secara blak-blakan. Tetap ada, cuma jumlahnya tidak terlalu banyak.

“Nah ketika Orde Baru masih berkuasa memang membaca karya-karya Indonesianis itu menjadi pelita tersendiri untuk melihat yang tidak boleh dilihat atau yang sulit dilihat ketika masa Orde Baru,” kata dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Achmad Munjid.

Merujuk pada istilah umum, Indonesianis adalah orang non-Indonesia yang memiliki ketertarikan, mendedikasikan waktunya untuk meriset dan menulis di berbagai bidang tentang Indonesia. Minat diwujudkan dalam tindakan maupun karya sebagai bagian dari karier mereka.

Bagaimana kiprah mereka sesudah Orde Baru di bawah komando Presiden Suharto tumbang dan reformasi di Indonesia menggelinding selama lebih dari dua dasawarsa dan perhatian global diarahkan ke negara-negara yang bergolak?

JOHN GIBSON/AFP/GETTY IMAGES[JOHN GIBSON/AFP/GETTY IMAGES] Kebebasan berbicara dikekang selama Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto.

Pada saat yang sama, semakin banyak Indonesianis kondang kini memasuki usia senja. Sebagian nama besar telah meninggal dunia. Ben Anderson dan Daniel Lev di antaranya. Anderson, ahli kajian Indonesia dari Universitas Cornell, tutup usia di Malang pada tahun 2015.

Tak ada data pasti berapa jumlah Indonesianis. Kementerian Luar Negeri Indonesia belakangan menggagas acara tahunan Kongres Indonesianis Sedunia. Pada acara tahun 2021, terdapat 250 peserta.

Dalam tulisan berseri, BBC News Indonesia membahas relevansi dan regenerasi Indonesianis di masa kini bertepatan dengan usia RI mencapai 77 tahun. Laporan pertama menampilkan beberapa sosok Indonesianis yang berkiprah di dunia akademik.

Profesor Robert Hefner: ‘Silakan, monggo’

Dengan kombinasi bahasa Indonesia dan Jawa “Silakan, monggo”, penerima panggilan telepon menyilakan saya memulai wawancara.

Dia bukan penutur asli Bahasa Indonesia dan bukan pula penutur asli Bahasa Jawa halus. Keduanya dia pelajari lebih dari 40 tahun silam di pegunungan Tengger, Jawa Timur.

[PROF. ROBERT HEFNER] Prof. Robert Hefner berada di rumahnya yang dihiasai dengan pernak-pernik dari Indonesia.

Tinggal di pedesaan, dia meneliti hubungan masyarakat minoritas Hindu dan mayoritas Muslim untuk disertasi gelar master di Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS).

Namanya tidak asing bagi Indonesia; Robert Hefner.

“Saya pada awal tidak tahu apa-apa sebagai orang Amerika yang awam dari midwest, Negara Bagian Ohio. Tidak pernah jalan ke luar negeri pada tahun-tahun itu dan tidak tahu apa-apa tentang Indonesia,” kenang Hefner disertai pula dengan tawa renyah ketika mengisahkan masa kuliahnya.

Dalam mata kuliah sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara, terdapat topik negara Indonesia. Di situlah dia mengenal Indonesia untuk pertama kalinya.

“Dari saat itu seolah-olah saya jatuh cinta. Seolah-olah saya menemukan sebuah negara yang betul-betul menarik perhatian buat saya akibat dari apa yang saya pelajari,” katanya.

Robert Hefner adalah profesor antropologi dan studi global di Universitas Boston. Berkat risetnya di Indonesia, dia telah menghasilkan banyak buku, sekitar 21 buku dengan pengarang tunggal.

Sejumlah bukunya telah diterjemahkah ke dalam bahasa Indonesia. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, sebagai contohnya.

Tema yang menjadi perhatian Profesor Hefner berkisar pada sejarah Islam, masyarakat Muslim, kerukunan dalam masyarakat pluralistik dan juga politik. Untuk itu, dia menghabiskan waktu lama di daerah-daerah basis pesantren.

[DOK, ROBERT HEFNER] Robert Hefner berfoto dengan seorang kyai pemilik sebuah pondok pesantren putri di Yogyakarta.

Pada 1978-1980, dia melakukan penelitian di Pasuruan, kabupaten yang menjadi benteng Nahdlatul Ulama. Pada 1985, dia kembali tinggal di kabupaten itu.

Kajiannya mengikuti tren isu-isu dalam masyarakat, seperti tercermin dalam salah satu buku teranyarnya mengenai syariah dan etika Muslim modern. Untuk saat ini dia sedang mempersiapkan buku bertajuk Islam and Citizenship: Democracy and the Quest for Inclusive Ethics in Indonesia.

Bersama akademisi UGM, dia juga membuat film pendek tentang rekonsiliasi konflik Ambon.

Keragamaan keagamaan yang relatif stabil dan terjaga menjadi modal penting tumbuhnya Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Itulah penilaian Rob Hefner yang tak tergoyahkan sedari awal mengenal Indonesia hingga dewasa ini.

“Yang paling menarik buat saya dari awal adalah ini negara sangat majemuk. Tapi walaupun begitu ini adalah sebuah negara di mana sebagian besar dari masyarakat betul-betul cinta dengan negara mereka,” kata Profesor Hefner.

Diakui aspek keistimewaan itulah yang tetap menjadi apresiasinya, meskipun sejumlah konflik telah meletup.

“Walaupun selalu ada tantangan, tapi salah satu keberhasilan yang betul-betul menonjol dalam sejarah politik Indonesia adalah bahwa sebagian besar masyarakat tidak sama sekali menolak gagasan Indonesia, proyek pendirian Indonesia tapi betul-betul cinta kepadanya. Itu sesuatu yang luar biasa dan mungkin orang Indonesia kadang-kadang tidak tahu banyak tentang keistimewaan Indonesia itu.”

Sebagian besar karyanya adalah karangan akademis. Dia berharap tulisan-tulisannya dapat digunakan oleh kalangan Indonesianis lain dan orang Indonesia sendiri.

Dia mengaku senang ada komunitas intelektual seperti di negara-negara Eropa dan Timur Tengah yang telah belajar dari buku-bukunya dan turut mengibarkan nama Indonesia.

“Tiga puluh tahun lalu ketika saya memulai karier saya sebagai Indonesianis, sebagian besar orang Amerika, apalagi orang Timur Tengah pun tidak banyak tahu tentang Indonesia,” katanya seraya menambahkan bahwa nama Indonesia semakin diketahui dunia setelah era Reformasi.

Mengapa demikian?

“Karena lihatlah Musim Semi Arab yang dilewati kurang lebih 2010-2011. Kalau kita bandingkan Arab Spring dengan era Reformasi Indonesia jauh beda. Jauh beda. Dan ini tragis menurut saya.

“Tidak ada satu pun negara, dengan perkecualian Tunisia, yang melewati Arab Spring itu dan kemudian mencapai sebuah pendirian, sebuah sistem politik yang demokratis, yang betul,” Profesor Hefner menjabarkan alasannya melalui sambungan telepon dengan BBC News Indonesia.

Last Updated: Oct 6, 2023 @ 9:39 am
WordPress Video Lightbox