DUNIA BISNIS
Saya menjadi anggota Korps Perdamaian di Filipina sebelum pergi ke Indonesia tahun 1970. Satu hal tentang Filipina adalah bahwa ketika Anda pergi ke sana sebagai seorang pemuda Amerika yang tidak berpengalaman di masa itu, mudah sekali Anda berpandangan bahwa Anda sudah memahami keadaan di sana karena banyak kesamaannya: lambang Coca-Cola dan gereja Katolik dan sebagainya. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa sebenarnya Anda tidak tahu apa-apa. Tapi saat tiba di Jakarta, saya tahu bahwa saya memang tidak tahu apaapa. Keadaannya begitu berbeda. Indonesia lebih buram, dan buatku itu lebih menarik untuk dipelajari. Orang-orangnya sangat berbeda. Di sini mereka jauh lebih formal, dan saya pun akhirnya jadi menyukainya; mungkin karena saya sendiri orangnya formal.
Pengalaman Fulbright merupakan titik balik yang nyata buat saya. Saya ke Bandung pada 1977 untuk melakukan penelitian untuk penulisan disertasi program doktor di bidang sejarah di Universitas Cornell, tetapi pada akhir tahun itu saya menyadari bahwa saya lebih menyukai Indonesia ketimbang belajar sejarah dan akhirnya saya pun memutuskan untuk menetap di sana. Untuk biaya hidup, saya mulai menjadi penulis lepas, dan akhirnya kegiatan ini membawa saya memasuki dunia bisnis karena permintaan untuk artikel mengenai bisnis jauh lebih banyak dibanding untuk tulisan tentang politik atau budaya. Sungguh ironis. Saya berasal dari jaman budayatandingan (counter culture) Amerika tahun 1960-an; saya memelihara jenggot, rambut gondrong, dan saya anti bisnis, pro-George McGovern, dan hal-hal seperti itu. Tapi setelah saya mulai bekerja menjadi penulis lepas dan mewawancarai para pengusaha, saya terheran-heran karena saya jadi benarbenar menyukai dan menghormati mereka. Tampaknya hanya merekalah orang-orang asing yang benar-benar memahami dengan baik hal-hal yang sedang berlangsung di negeri ini. Mereka harus bekerja keras agar berhasil dalam masyarakat, mempekerjakan dan melatih orang, dan mereka berhadapan langsung dengan persoalan regulasi dan tenaga kerja. Orangorang ini memberi saya informasi mengenai Indonesia yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Saya sedikit aneh orangnya. Tidak banyak orang asing yang berbicara bahasa Indonesia pada masa itu. The Asian Wall Street Journal baru saja terbit. Far Eastern Economic Review yang legendaris berada di masa jayanya. Salah satu yang memberikan penghasilan yang lebih baik adalah majalah Time. Mereka mengajukan permintaan aneh-aneh, seperti “Kami sedang mengerjakan sebuah buku masak Indonesia, apa yang dimaksud dengan kenari?” Dan tentu saja menyenangkan sekali menjadi seorang wartawan muda, seorang pemegang kartu koresponden asing. Klub Koresponden Asing Jakarta yang pertama baru saja terbentuk dan beberapa wartawan terkenal seperti David Jenkins, Hamish McDonald, dan Rocky Pura berada di masa kejayaan mereka.
Pada tahun 1979, saya akhirnya mempunyai pekerjaan tetap pertama dan satu-satunya. Saya bekerja di sebuah perusahaan Amerika bernama International Business dan bertahan selama satu tahun di situ. Setelah itu saya memulai usaha pertama saya di sini yaitu melakukan penelitian bisnis, dan, dengan seorang teman baik, almarhum David Sparkes, saya menerbitkan The Indonesian Consumer, sebuah profil pasar konsumen lokal yang revolusioner pada saat itu. Kemudian saya menjadi mitra di Touche Ross selama dua tahun, dan kemudian saya keluar untuk bekerja sama mendirikan sebuah badan konsultan, Business Advisory Indonesia di tahun 1983. Saya bertahan di situ selama 10 tahun, dan sejak saat itu saya berusaha sendiri, melalui pasang surutnya dunia usaha. Pada awal krisis keuangan Asia pada tahun 1997 saya mempekerjakan sekitar 50 orang karyawan karena kita banyak melakukan penelitian bisnis. Hanya dalam kurun waktu dua tahun saja usaha penelitian lenyap dan saya terpaksa harus mengurangi staf saya menjadi 15 orang. Kami mampu bertahan dan sekarang saya melihatnya sebagai sebuah pelajaran penting. Tetapi ketika hal itu terjadi, saya pastikan bahwa hal itu sangat tidak menyenangkan.
Indonesia telah menjadi kehidupan saya sejak saya tiba di sini dengan beasiswa Fulbright pada tahun 1977. Selain pekerjaan saya di dunia bisnis, saya membantu merintis cabang lokal dari The Nature Conservancy dan membantu restrukturisasi Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA), di mana saya menjabat sebagai wakil ketuanya. Saya adalah presiden pertama dari Kamar Dagang Internasional di Indonesia ketika didirikan tahun 2000. Dan saya telah menjadi Presiden Kamar Dagang Amerika di Indonesia selama sembilan kali masa jabatan satu tahun, jadi saya berusaha agar selalu aktif di masyarakat.
Saya sudah menetap di Indonesia selama 35 tahun, dan dari satu sisi saya melihat bahwa saya telah menjalankan visi Fulbright. Saya benar-benar melebur dalam budaya lain dan masih terhubung erat dengan Amerika, dan menurut saya itulah yang dimaksud dengan Fulbright. Jadi saya berharap bahwa Fulbright akan menilai diri saya sebagai suatu hasil yang positif pada saat mereka membuat penilaian.
Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 126 – 129) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.
Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.
Intiland Tower, Lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 32
Jakarta 10220, Indonesia
Tel : (+62) 21 5793 9085 / 86
Fax : (+62) 21 5793 9089
Office Hours : Monday – Friday, 08.00 – 17.00
The office is closed for Indonesian and US holidays
© 2025 AMINEF. All Rights Reserved.