Jawa-Islam di Masa Kolonial. Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa

Sebagai seorang perempuan filolog (ahli aksara lama), Nancy K Florida termasuk salah satu pengamat kebudayaan, Jawa khususnya, yang khas.

Kekhasannya bukan karena ia adalah ahli kebudayaan yang telah menuntaskan studi doktoral dan post-doktoralnya di Universitas Cornell serta masih mengajar sebagai profesor di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Namun, lantaran cara pandangnya yang diwariskan dari para guru besar dan rekan-rekan sejawatnya, terutama dari Asia Tenggara, yang berempati dan bersimpati kepada orang-orang yang disingkirkan, diabaikan, dan bahkan dihilangkan dalam sejarah (people without history). Akibatnya, dalam sejarah orang-orang yang langka itu pun jarang ditampilkan, apalagi didengarkan, suara dan kepentingannya (history without people).

Maka, melalui buku yang disusun ulang dari beberapa kajiannya tentang Jawa-Islam di masa kolonial, penampakan atau representasi dari mereka yang disebut sebagai santri atau pujangga Jawa diletakkan pada saat dan tempat yang tepat dalam sejarah, terutama di Nusantara.

Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis selama lebih dari 30 tahun (1987-2019) ini memperlihatkan bahwa Jawa yang kerap di-”adiluhung”-kan dalam beragam karya sastra klasik sesungguhnya adalah bayang-bayang ketakutan dari kolonialisme Belanda (dan Barat/Eropa) di Nusantara. Ketakutan yang sering dibahasakan sebagai ”kekuatan yang tak tampak” (the hidden force) itu bukan kebetulan bersumber pada kebudayaan yang salah satunya bernuansa Islam.

Hal itu merupakan konsekuensi dari trik dan intrik kolonialisme Belanda untuk melanggengkan dominasi kekuasaan di Nusantara, khususnya melalui Jawa-Islam. Kekuasaan yang ujung-ujungnya berkiblat pada kepentingan ekonomi kolonialisme yang sudah semakin bangkrut akibat ”Perang Jawa” atau ”Perang Dipanegara” (1825-1830), misalnya, tampak masih tetap dipertahankan dengan memanfaatkan para pujangga keraton yang telah dihegemoni dengan kebudayaan Islam sebagai ”kebudayaan akhir zaman”.

Itulah mengapa tidak sedikit karya-karya sastra yang dihasilkan dalam bentuk tembang (nyanyian) Jawa, seperti serat atau suluk, seakan-akan dikemas dalam aroma keislaman yang bernilai luhur dan mulia.

Meski hanya memuat enam artikel, buku ini telah menunjukkan bahwa ”Jawa-Islam” adalah konstruk budaya masa lalu yang menjadi ”semacam undangan kepada manusia Indonesia (hlm x)” untuk menggaungkan apa yang telah diawali oleh Nancy dengan kajian-kajian yang bersumber dari manuskrip dan pikiran Jawa.

Maka, enam artikel yang telah diterjemahkan dan digubah kembali, seperti ”Menulis Tradisi di Masa Kolonial Jawa: Pertanyaan Terkait Islam” (Writing Traditions in Colonial Java: The Question of Islam), adalah bahan bacaan yang tidak hanya berdaya kuasa untuk ”merawitkan naskah”, tetapi sekaligus juga ”membaca sejarah”.

Demikian pula dengan artikel-artikel lain, khususnya yang berjudul ”Sex Wars: Menulis Relasi Gender di Abad ke-19 Jawa” (Sex War: Writing Gender Relations in Nineteenth-Century Java), tampak bahwa apa yang menarik untuk dikaji ulang bukan sekadar masalah ketimpangan atau ketidakadilan jender, tetapi bahwa di masa lalu pun sudah ada ”perlawanan” yang beraroma seksualitas dalam kemasan suluk (tembang sufi) Islam yang bersifat liar (hlm 109).

Akibatnya, dalam sejarah orang-orang yang langka itu pun jarang ditampilkan, apalagi didengarkan, suara dan kepentingannya (history without people).

Hal itu mengingatkan pada kajian-kajian yang dikerjakan pula oleh Benedict Anderson terhadap Serat Centhini dan Suluk Gatholoco dalam artikel yang berjudul ”Impian Profesional: Cerminan pada Dua Karya Klasik Jawa” pada buku Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: MataBangsa, 2000).

Sedangkan di masa kini, gerakan ”sastra wangi” yang dirintis oleh para novelis perempuan perkotaan, seperti Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu, adalah suatu terobosan yang mengundang para pembaca sastra di Indonesia untuk tidak lagi memandang kaum ”bukan laki-laki” hanya sekadar ”obyek” belaka, tetapi juga ”subyek” yang ambigu dan boleh jadi, tak terbayangkan sebelumnya.

Memang serat atau suluk adalah salah satu karya sastra Jawa yang dianggap bernada kesantrian dari para pujangga, seperti R Ng Ronggawarsita III (1802-1873) yang dikenal sebagai ”pujangga panutup”. Meski beliau pernah menjadi santri atau cantrik desa, kesantriannya lebih daripada sekadar demi kepentingan siar keagamaan sebagai lembaga sosial dan formal.

Sebab, apa yang disuratnya melalui berbagai karya sastranya, terutama Serat Kalatidha, justru mengguratkan suatu kemunduran zaman. Zaman yang dikenal sebagai ”Zaman Edan” ditandai dengan kerusakan tatanan hidup bersama sehingga menghasilkan krisis moral dan kepercayaan. Tak heran jika zaman itu dijadikan dering peringatan kritis terhadap porak-porandanya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat yang sesungguhnya memberikabn status atau derajat terhormat dan bermartabat.

Inilah sesungguhnya zaman yang mewarisi karya sastra ternama dan terakhir dengan muatan berbagai ajaran dari ”Sang Ajar” (resi, pertapa, begawan) di Nusantara. Ajaran-ajaran yang semakin langka dan hilang dalam kehidupan masyarakat akibat dijauhkan dan bahkan sekadar dikeramatkan serta diwasiatkan setara dengan benda-benda pusaka (keris atau tombak), mantra atau jimat yang ampuh dan tanpa tanding.

Pengeramatan segenap ajaran itu adalah salah satu strategi kebudayaan yang mujarab dari kolonialisme Belanda yang dengan cerdas mampu didekonstruksi oleh Nancy melalui kumpulan artikelnya di buku ini. Dekonstruksi, lewat karya-karya sastra dari para pujangga Jawa yang selalu diagung-agungkan bertaraf klasik itu, telah membongkar segala muslihat di balik strategi kebudayaan yang dikenal dengan sebutan ”adiluhung”.

Dengan sebutan itu, Jawa, apalagi Islam, seolah-olah tak tersentuh. Dengan kata lain, keduanya menjadi ”suci”, ”terpusat”, dan ”tiada taranya”. Maka, hanya mereka yang memiliki pangkat dan jabatan resmi dari keraton, dan kaki tangannya, yang dapat mewarisi segala pengajarannya. Padahal, Jawa-Islam yang sesungguhnya justru menyebar dan mengembara di luar pusat-pusat kekuasaan, termasuk keraton.

Pada tataran ini, buku ini menunjukkan sebuah ”pintu di tembok keraton” yang dapat menjadi jalan untuk menemukan kekuatan apa dan siapa yang disembunyikan oleh pihak-pihak yang berkuasa.

Penting untuk diketahui bahwa di masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda telah memanfaatkan kuasa atas pengetahuan yang dimiliki oleh para filolog, seperti Nancy di masa kini, untuk melanggengkan kuasa politik dan ekonominya.

Melalui pengetahuan budayanya yang terbilang masih langka, mereka mampu merekayasakan sebuah keyakinan yang sukar digoyang, bahkan oleh pengetahuan sekalipun. Contohnya, keyakinan pada Babad, Kakawin, atau Serat, sebagai ajaran-ajaran dari masa lalu yang hanya boleh dipelajari oleh kaum laki-laki. Maka, masuk akal jika laki-laki dipandang lebih terhormat dan bermartabat dibandingkan dengan kaum perempuan. Sebab, tugas utama perempuan adalah di belakang, sedangkan laki-laki berada di depan.

Di sanalah perbedaan kelas sosial terjadi berdasarkan seksualitas yang membuat para pujangga Jawa kebanyakan adalah laki-laki. Perbedaan macam inilah yang mengakibatkan suara dan kepentingan laki-laki bergaung lebih nyaring ketimbang perempuan. Tetapi, perempuan tampaknya tidak mudah kalah, apalagi menyerah. Terbukti, pada saat dan tempat yang tepat, dalam ”perang seks” (sex war) di keraton, misalnya, perempuan tampak lebih unggul dan menentukan ketimbang laki-laki.

Di sanalah perbedaan kelas sosial terjadi berdasarkan seksualitas yang membuat para pujangga Jawa kebanyakan adalah laki-laki.

Buku ini memang masih enak dan perlu untuk dibaca mengingat karya-karya sastra Jawa semakin langka peminatnya dan hanya tersimpan di bawah tumpukan debu di perpustakaan, museum, atau gudang-gudang arsip. Beruntunglah jika naskah-naskahnya sudah didigitalisasi, meski masalah pokoknya adalah siapa yang masih menjadi pembaca setia dan kritisnya?

Tidak perlu sekritis Nancy barangkali, yang telah dianugerahi gelar Kanjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT) Budayaningtyas dari Keraton Surakarta (Kompas, 22/4/2009). Tapi, cukuplah jika dapat menyurat naskah-naskah Jawa dari masa silam dan menggurat neo-kolonialisme yang sedang menjelang di Nusantara.

Di masa yang masih merupakan bagian dari ”Zaman Akhir” ini, kejelian dan kewaspadaan untuk meramal tanda-tanda kekacauan dalam hidup bersama, termasuk di tengah pandemi ini, amat diperlukan. Dan, bahan bakarnya ada pada naskah-naskah, Jawa khususnya, yang telah menjadi ajaran-ajaran abadi dari masa ke masa.

Jadi, siapakah yang masih rela bersusah payah menggaungkan segenap ajaran dari masa lalu, sebagaimana telah diawali oleh Nancy, demi menghadirkan sejarah yang adil dan lepas dari cengkeraman (neo)kolonialisme dan kaki tangannya?

Last Updated: Jul 31, 2022 @ 8:49 pm
WordPress Video Lightbox