“Saya salah seorang dari delapan akademisi yang belajar dua tahun atas hibah Fulbright, Pada University of California di Berekeley. Tujuan kami adalah menciptakan kurikulum dari dasar ilmu sosial di Indonesia. Saya memperoleh gelar M.A. dalam bidang studi Asia Tenggara, pada tahun 1970.
“Memang, itu adalah kurun waktu yang sangat menggairahkan di Berekeley. Ada protes mahasiswa yang luas untuk menentang serangan A.S. di Kamboja, dan saya ingat ketika terperangkap dalam sebuah gedung kampus yang penuh gas air mata, sedang polisi dorong – mendorong para aktivis dengan pentungan. Seluruh kontroversi itu membantu saya memusatkan perhatian pada posisi Indonesia terhadap keterlibatan A.S. di Asia.
“Amerika selalu menimbulkan pandangan mendua di kalangan inteiektual Dunia Ketiga — cerita lama tentang mencintai sekaligus membenci Amerika. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, AS tetap merupakan suatu pesona bagi kami, meskipun ada persepsi yang luas tentang merosotnya kekuasaan dan pengaruh Amerika.
“Saya pernah berada di A.S pada tahun 1963 untuk waktu yang singkat, disponsori oleh USIS, sebagai anggota sekelompok pimpinan mahasiswa. Saya memperoleh pengalaman tinggal pada sebuah keluarga di Los Angeles, dan berada di A.S pada hari Presiden Kennedy terbunuh. Tentu saja hal itu mengejutkan dan mengharukan saya. Dan demikian pula rasanya ketika seorang miskin di jalanan Washington, D.C. meminta sepicis dari saya.
“Ketika berjalan di beberapa daerah tertentu di Oakland, dekat Berkeley, saya teringat komentar ayah saya sekembali beliau dari kunjungan pertamanya ke A.S. di tahun 40-an. Kata beliau, ‘Kalau pergi ke Amerika, dapat kau rasakan bagaimana tidak adilnya dunia ini, karena kau akan mclihat demikian tingginya kemakmuran, tetapi banyak segi lain yang diakui sendiri olch orang Amerika harus disempurnakan’
“Dengan berada di sana saya menyadari betapa beruntungnya para Fulbrighter Indonesia, tidak saja dibandingkan dengan orang Indonesia lain, tctapi juga dibandingkan dengan mahasiswa Amerika yang sering mengalami kesulitan dalam kehidupan mereka. Jadi, kalau salah seorang mendengar bahwa saya Fulbrighter, yang muncul bukan hanya rasa agak kagum, tetapi juga perasaan cemburu, karena saya mendapat bantuan finansial khusus yang membuat kehidupan saya jauh lebih mudah!”