Antariksa Akhmadi, pustakawan di Perpustakaan Nasional RI yang saat ini tengah melanjutkan pendidikan S2 di AS (dok: Antariksa Akhmadi)
Belum lama ini pustakawan muda Indonesia, Antariksa Akhmadi meraih beasiswa Fulbright untuk melanjutkan studi S2 jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di University of Maryland, AS. Adalah keinginannya untuk meningkatkan kolaborasi antara pustakawan dengan pengguna perpustakaan di Indonesia.
WASHINGTON, D.C. — Berdasarkan data dari Asosiasi Perpustakaan Amerika, terdapat lebih dari 123 ribu perpustakaan yang beroperasi di Amerika Serikat. Jenis perpustakaannya pun cukup beragam, mulai dari milik swasta, publik, sekolah, pemerintah, atau lembaga lainnya.
“Perpustakaan publik pertama yang aku kunjungi di US itu ada di (kota kecil) di Oregon. Kotanya kecil banget sampai aku enggak expect mereka bakal punya library yang sangat terawat, punya koleksi bagus, serta servis yang baik,” ujar Fransiska Elisabeth, mahasiswi S2 asal Indonesia jurusan kebijakan pendidikan internasional di University of Maryland, Maryland, AS.
Pojokan khusus anak-anak di sebuah perpustakaan di Wheaton, Maryland, AS menyediakan beragam materi membaca untuk anak-anak dan permainan edukasi di komputer (dok: Dan Novak/VOA)
Tidak hanya menjadi tempat untuk meminjam buku, mengakses informasi, tetapi perpustakaan di Amerika kerap mengadakan berbagai kegiatan gratis bagi warga dari berbagai kalangan dan umur hampir setiap harinya.
“Mereka punya banyak rangkaian aktivitas-aktivitas positif buat anak, teen, youths, adults, bahkan sampai yang tua, mulai dari storytelling, belajar ngerajut, kursus bahasa, seminar-seminar, kompetisi, dan masih banyak yang lain,” tambah perempuan kelahiran Pekanbaru ini.
Para pengguna pun bisa berinteraksi langsung dengan pustakawan yang bertugas, yang bisa membantu dalam mencarikan informasi. Jumlah pustakawan yang ada di suatu perpustakaan pun beragam, tergantung dari jumlah koleksi yang dimiliki.
Menurut data dari perusahaan Zippia yang menyediakan layanan rekrutmen secara daring di AS, hingga kini terdapat lebih dari 80 ribu pustakawan di Amerika Serikat, dimana 68 persen diantaranya adalah perempuan.
Biro statistik tenaga kerja AS menyebut, penghasilan rata-rata seorang pustakawan bisa mencapai lebih dari 61 ribu dolar AS atau setara dengan 958 juta rupiah per tahun.
Mimpi Jadi Pustakawan
Berawal dari gemar membaca, mengoleksi buku, dan menjelajah di Internet, Antariksa Akhmadi yang berasal dari Surabaya lantas memutuskan untuk mengejar mimpinya menjadi pustakawan.
“Dari kecil itu saya sering ke war-net. Tapi bukan buat nge-game, tapi buat nyari-nyari info apa gitu,” jelas Antariksa Akhmadi yang akrab disapa Aan kepada VOA belum lama ini.
Tidak hanya itu, ia pun gemar pergi ke perpustakaan, dimana ia bisa menjelajahi berbagai hal tanpa harus menginjakkan kakinya di suatu tempat.
Antariksa Akhmadi, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di University of Maryland, di Maryland, AS. (dok: Antariksa Akhmadi)
Keingintahuannya yang tinggi membuatnya tertarik untuk mempelajari hal-hal dari masa lalu, juga mengenal sosok orang-orang yang sudah tidak ada. Inilah yang membuatnya jatuh cinta pada perpustakaan.
“Ternyata di dunia ini banyak yang bisa di-explore. Kita enggak harus traveling untuk tahu semua itu. Tapi kita bisa tahu dari depan komputer. Atau dalam hal ini kita bisa juga tahu dari misalnya baca buku,” kata pria kelahiran tahun 1995 ini.
Setelah lulus S1 jurusan sastra Inggris dari Universitas Airlangga di Surabaya, pria kelahiran tahun 1995 ini diterima kerja sebagai pustakawan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta tahun 2019.
Berbeda dengan dulu dimana pencarian informasi kerap terhalang oleh ketersediaan buku, kini, tantangannya adalah dengan banyaknya informasi, khususnya di era digital, menurut Aan belum tentu apa yang kita cari itu sesuai dengan kita butuhkan.
“Bagaimana cara kita bisa (memilih), mana sih, tutorial mana yang sesuai dengan kebutuhan kita? Karena belum tentu yang kita baca itu nantinya hasilnya akan sama dengan yang kita inginkan,” ujar pria asal Surabaya ini.
Inilah yang membuatnya tertarik untuk menjadi seorang pustakawan, yang salah satu tugasnya adalah menyeleksi informasi dan menghubungkannya dengan orang yang membutuhkan.
“Kita punya kemampuan atau sudah dibekali ilmunya untuk mencarikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan ini memang lebih akurat dibandingkan yang mungkin orang ketika (mencari) sendiri mungkin hasilnya akan kurang optimal, dibandingkan ketika dia dibantu oleh pustakawan, sebagai orang yang membantu untuk mencarikan informasi,” jelasnya.
Tantangan Mengulik Informasi
Sebagai pustakawan, Aan dan rekan-rekannya banyak mendapatkan beragam pertanyaan yang terkadang cukup menantang, atau membutuhkan proses yang tidak mudah untuk mencari informasi yang diperlukan.
“Ada juga orang nanya tentang, misalnya ada sengketa tanah di pengadilan. Sebagai bukti ke pengadilan, orang butuh, misalnya ada iklan tanah dijual sekian, di koran ini misalnya. Nah, itu kita kan perlu mencarikan. Bisa dicari juga di perpustakaan,” ungkap Aan.
“Jadi itu fungsi-fungsi yang esensial dari perpustakaan yang mungkin enggak pernah terbayangkan sebelumnya,” tambahnya.
Pustakawan, Antariksa Akhmadi di Perpustakaan Nasional RI (dok: Antariksa Akhmadi)
Tidak hanya itu, terkadang ada juga pertanyaan yang membuat para pustakawan harus memutar otak untuk menjawabnya.
“Tentang bagaimana caranya supaya kita terhindar dari santet,” ceritanya.
Namun, satu hal yang Aan selalu ingat adalah apa yang disampaikan oleh seniornya, yang mengatakan, “kalau kamu jadi pustakawan, itu haram hukumnya bilang tidak tahu. Jadi ketika ada orang nanya harus cari jawabannya.”
Menurut Aan, seorang pustakawan tidak perlu jadi orang yang paling tahu, namun harus tahu cara mencari informasi yang diperlukan atau membantu mengarahkan.
Beasiswa ke AS
Untuk mendalami ilmu perpustakaan lebih dalam, Aan lalu memutuskan untuk meneruskan pendidikan S2 jurusan Library and Information Science atau Ilmu Perpustakaan dan Informasi di University of Maryland di negara bagian Maryland, AS tahun 2023.
“Kalau di Indonesia kan memang untuk jadi seorang pustakawan itu kan enggak harus S2. Bisa lewat S1. Tapi kalau di Amerika, itu memang untuk menjadi seorang librarian, jadi yang benar-benar certified sebagai seorang pustakawan, itu harus lewat S2. Jadi S1nya enggak ada sebenarnya,” ungkapnya.
Di Indonesia sendiri, pendidikan di bidang perpustakaan saat ini juga tersedia di tingkat S1 dan S2. Namun, untuk melanjutkan pendidikan S2 di Amerika, Aan berhasil merasih beasiswa Fulbright dari American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF).
Antariksa Akhmadi, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di University of Maryland, di Maryland, AS. (dok: Antariksa Akhmadi)
Alasannya untuk mendaftar beasiswa Fulbright untuk kuliah di Amerika adalah mengingat bahwa negara inilah yang “mengawali pengembangan soal perpustakaan umum.”
Berangkat dari sejarah ketika perpustakaan memiliki kesan hanya ditujukan untuk kalangan bangsawan, hingga akhirnya Amerika mulai membangun perpustakaan, mengembangkan ilmunya, dan menyediakan berbagai program pelatihan berstandar khusus untuk pustakawan.
“Semua orang punya hak untuk mengakses buku, mengakses pengetahuan, mengakses informasi,” tegas Aan.
“Makanya sekolah-sekolah perpustakaan atau library schools itu memang awalnya yang besar itu di Amerika,” tambahnya.
Saat ini, Aan menjadi penerima beasiswa Fulbright jurusan ilmu perpustakaan pertama sejak tahun 2001, dalam cakupan Fulbright Indonesia. Mengingat ilmu perpustakaan ini jarang menjadi pilihan dari para pendaftar beasiswa Fulbright dan kesempatan untuk bisa menempuh pendidikan ini di luar negeri juga tidak banyak, Aan bertekad untuk “memanfaatkan kesempatan ini” dan “mencoba melaksanakan studi ini dengan sebaik-baiknya.”
Hingga kini, hanya ada 6 kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sejak berdiri tahun 1980. Beberapa diantaranya adalah peraih gelar S2 dari Amerika.
“Jadi memang kaitan antara pustakawan Indonesia dengan Amerika itu sebenarnya lumayan dekat, karena orang-orangnya, misalnya kepala perpustakaan nasional, terus scholars atau akademisi di bidang perpustakaan itu juga banyak lulusan Amerika,” ujar Aan.
“Amerika ini negara yang memang punya kesadaran bidang perpustakaannya sudah di level tersendirilah dibandingkan negara-negara lain. Itu yang kita coba tiru di Indonesia. Dan program-programnya pun juga banyak yang dulunya diprakarsai oleh Amerika. Misalnya ada program kami di perpustakaan nasional itu di bidang pengembangan perpustakaan umum,” tambah Aan.
Harapan untuk Indonesia
Situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat bahwa terdapat lebih dari 179 ribu perpustakaan tersebar di Indonesia. Angka ini bahkan melebihi jumlah perpustakaan yang tercatat di Amerika, yang mencapai lebih dari 123 ribu.
“Memang perpustakaan di Indonesia banyak. Namun, masih banyak yang belum memadai. Di (Perpustakaan Nasional) ada instrumen yang namanya Standar Nasional Perpustakaan untuk menentukan apakah suatu perpustakaan sudah memadai atau belum. Berdasarkan kesesuaian dengan standar, belum semuanya yang memenuhi,” jelas Aan.
Antariksa Akhmadi, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di University of Maryland, di Maryland, AS. (dok: Antariksa Akhmadi)
Tidak hanya itu, koleksi yang dimiliki perpustakaan di Indonesia terkadang belum memenuhi kebutuhan para pengguna di Indonesia.
Berdasarkan standarisasi dari International Federation of Library Associations and Institutions dan UNESCO yang dilansir dalam laporan kinerja perpustakaan republik Indonesia tahun 2022 lalu, “jumlah koleksi dikatakan mencukupi apabila setiap 1 orang penduduk membaca 2 koleksi.”
“Nah, yang terjadi sekarang, rasionya masih jauh dari itu,” ujar Aan.
Sebagai pengguna perpustakaan, Fransiska Elisabeth juga berharap bahwa perpustakaan publik tidak hanya melulu tersedia di tingkat provinsi, tetapi juga di tingkat kota, kabupaten, dan kecamatan, mengingat harga buku yang semakin mahal.
“Tujuannya bukan cuman buat edukasi masyarakat dan menggalakkan budaya baca, tapi juga bantu masyarakat dengan ekonomi lemah, khususnya anak-anaknya ya. Buat akses pengetahuan tanpa harus beli buku baru,” kata Fransiska.
Fransiska Elisabeth, mahasiswa S2 asal Pekan Baru, jurusan kebijakan pendidikan internasional di University of Maryland, AS (dok: Fransiska)
Tidak hanya sebagai tempat untuk meminjam buku, Fransiska juga berharap bahwa perpustakaan di Indonesia juga dapat lebih banyak lagi menyediakan berbagai aktivitas yang positif, dengan mengikutsertakan masyarakat.
“Harapannya, masyarakat juga jadi bisa share ownership dan mau sama-sama jaga keberlanjutan library itu sendiri,” lanjut Fransiska.
Walau kerap ada anggapan bahwa anak muda Indonesia, khususnya generasi Z, memiliki minat baca yang rendah, menurut Aan hal tersebut ternyata bertolak belakang dengan apa yang ia lihat di media sosial.
“Ternyata kalau kita lihat (media sosial) itu ramai sekali (generasi Z). Karena mereka lihat di luar negeri, bisa dapat bacaan, bisa dapat tontonan yang kalau beli mungkin antara mahal atau susah. Jadi sebenarnya mereka ada minatnya dalam perpustakaan. Itu contrary to popular opinion,” jelas Aan.
Antariksa Akhmadi, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di University of Maryland, di Maryland, AS. (dok: Antariksa Akhmadi)
Inilah yang juga mendorong Aan ingin mendalami ilmu perpustakaan lebih lanjut, yaitu untuk mengetahui berbagai tren yang tengah berkembang di Amerika Serikat, termasuk layanan yang diberikan, serta cara agar perpustakaan dan pustakawan bisa terlibat dalam “isu-isu yang ada di masyarakat.”
Walau terdengar simpel, menurut Aan tentu saja pelaksanaanya tidak mudah. Namun, yang menjadi kunci pentingnya menurut Aan adalah kolaborasi antara pustakawan dengan pengguna perpustakaan, yang menurutnya akan menjadi hal yang “sangat seru” untuk diikuti kedepannya. [di/dw]
Simak obrolan VOA Indonesia bersama Antariksa Akhmadi dalam podcast “KUDOS” Episode: “Jadi Pustakawan, Antariksa Akhmadi Raih Beasiswa ke Amerika” di Spotify, Apple podcast, dan YouTube podcast.
© 2024 AMINEF. All Rights Reserved.