Alumni & Voices

Marusya Nainggolan

NYANYIAN TERIMAKASIH UNTUK FULBRIGHT

Denting piano diselingi suara tamborin dan ketukan “magic box” (instrumen perkusi berbentuk kotak yang berasal dari Peru) mengisi sore yang cerah di rumah Marusya Nainggolan. Penerima beasiswa Fulbright yang akrab dipanggil Usya itu meraih gelar master di bidang komposisi musik dari Universitas Boston, 1989. Pada saat wawancara berlangsung, seorang asisten meningkahi permainan piano Usya dengan lonceng, tamborin dan alat-alat denting lainnya. Sedangkan anak laki-lakinya, seorang siswa sekolah menengah atas, memukuli magic box secara berirama.

Marusya Nany Fayme Nainggolan berasal dari keluarga guru yang sederhana. Ia lahir di Bogor, 1954, anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Sebagaimana lazimnya keluarga Kristen Batak, Usya aktif bernyanyi dan main piano di gereja. Ketika mendapat tetangga yang berasal dari Amerika, ia sempat belajar bahasa Inggris. Sebagai imbal balik, ia mengajar anak tetangganya itu bermain piano. Sekarang, pada tahun 2012, ia dan keluarganya tinggal di kawasan Pulomas yang tenang di Jakarta Timur. Di lantai dua rumahnya, terdapat sebuah piano Petrof dan beraneka macam alat musik tradisional Indonesia. Sebagai komposer ia dikenal berani menggabungkan piano dengan angklung, talempong, rebana, dan instrumen lokal lainnya.

Eksperimen musik Marusya ini mendapat tanggapan baik dari berbagai negara. Ia sering diundang untuk pentas di berbagai negara dan mengadakan pagelaran di sejumlah kedutaan besar di Jakarta. “Saya ingin pada suatu hari dapat pentas khusus sebagai tanda terima kasih kepada Fulbright,” katanya.

Setelah merampungkan studinya di Universitas Boston, Marusya kembali mengajar di Institut Kesenian Jakarta. “Tetapi mengajar saja tidak cukup, kita harus pentas juga di depan publik,” katanya. Beberapa kali Marusya mengadakan konser untuk merespons peristiwa sedih seperti, Bom Bali, Tsunami Aceh, dan bencana alam lainnya. Untuk itu ia menggubah lagu-lagu khusus, dan tampil bersama musisi lain dan memanfaatkan juga alat musik tradisional, seperti misalnya dari Bali, Jawa, maupun Sumatera. Kreativitas dan inovasinya tinggi. Dosennya di Boston pernah menyebutnya “born Mozart” dan memberinya nilai A+.

Marusya berharap Fulbright lebih bersikap fleksibel dalam pertukaran pemusik antara Indonesia dan Amerika. Ia melihat peranan perguruan tinggi sangat besar dalam menemukan dan mengangkat kekayaan musik setempat menjadi perbendaharaan dunia. Sebagai contoh, ia menjadi paham perangkat gamelan Jawa seperti bonang, peking dan kenong, justru setelah membacanya di Harvard Dictionary of Music .

Jadi apa artinya mendapat beasiswa Fulbright bagi Marusya? “Memberikan kebanggaan sekaligus kesempatan, bahwa kalau mendapat kesempatan, bangsa Indonesia bisa mempersembahkan yang terbaik,” kata pemimpin Marusya Chamber Music ini.

Sampai senja, piano di rumahnya masih terus berdentang-denting. Lagu-lagu klasik Barat dengan kombinasi musik lokal bernuansa etnis Bali, Batak, Jawa, Sunda, menjalin irama-irama baru silih berganti.

Last Updated: Jun 3, 2019 @ 3:55 pm

Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 148 – 150) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.

WordPress Video Lightbox