işlek caddelere ve kafelerin olduğu kalabalık bir yere sikiş taşınmak isteyen genç çift bekar hayatı yaşadıkları porno huzurlu evlerinden daha sosyal imkanları olan bir porno izle mahalleye taşınmak isterler bu fikri sonrasında anal porno anında soyunmaya başlayan abla dediği kadını görünce yıllarca porno izle abla dememiş gibi onu tek celsede sikerek abla kardeş sex izle ilişkisine yüksek seks mahkemesinin kararıyla son brazzers verirler üvey kardeşlerin şehvetle sikiştiğini gören porno video mature ise boş durmaz ve onların bu eğlenceli ensest sikişmelerine kendisi konulu porno de dahil olur yine bir gün elinde poşetlerle eve gelir ders sex izle çalışmakta olan üvey oğluna yeni iç çamaşırlar aldığını bunları porno babasından önce ona göstermek istediğini söyler

Alumni & Voices

Mary-Jo DelVecchio Good and Byron J. Good

MITRA DALAM PENYEMBUHAN

Kami adalah antropolog medis yang telah mapan, mengajar di Universitas Harvard dengan fokus studi di Iran, Turki, dan Amerika Serikat, saat kami ditawari kesempatan menjadi pengajar Fulbright di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada 1996. Hal ini merupakan awal hubungan cinta dengan Yogya dan komitmen yang mendalam kepada Indonesia yang terus berlanjut sampai sekarang. Kami menghabiskan dua sampai enam bulan setiap tahunnya di Indonesia, mengembangkan proyek-proyek kerjasama penelitian dengan para sejawat di Fakultas Kedokteran dan Psikologi di UGM, ikut memberi kontribusi bagi lahirnya sebuah gerakan nasional untuk etika medis, dan mendukung pengembangan bentuk-bentuk jasajasa kesehatan mental yang inovatif di Yogyakarta dan Aceh pasca konflik. Kami juga memprakarsai program pertukaran yang telah membawa lebih dari 20 staf pengajar dan akademisi dari universitas-universitas di Indonesia ke Universitas Harvard sebagai peneliti tamu.

Proyek Mary-Jo mengenai budaya biomedis dan bioetika dimulai dengan suatu kerjasama dengan Dr. Yati Soenarto dan Siwi Padmawati dan para sejawat di bidang medis lainnya. Ia mewawancarai para staf pengajar medis tentang sejarah kehidupan mereka, pendidikan medis awal, dan pengaruh arus global pengetahuan dan praktik pada profesi kedokteran di Indonesia. Sebuah program beasiswa baru memungkinkan kami mengundang staf pengajar UGM ke Universitas Harvard dan untuk mensponsori bersama sebuah konferensi di UGM, “Bioetika 2000: Sebuah Pertukaran Internasional,” yang diikuti dengan pertemuan nasional para pengajar medis yang menyusun sebuah agenda untuk pendidikan etika kedokteran di Indonesia. Dr. Soenarto Sastrowijoto, kolaborator kami dan yang pernah menerima beasiswa Fulbright ke Universitas Harvard, kemudian mendirikan Pusat Bioetika dan Humaniora Medis, yang sampai sekarang menjadi tokoh nasional di bidang pendidikan etika kedokteran. Fulbright dan AMINEF mendukung kegiatan ini dengan mendanai penelitian dan konferensi-konferensi untuk membahas dilema-dilema etika yang dihadapi para dokter dalam memberikan perawatan kepada pasien dengan penyakit mematikan.

Byron datang ke Indonesia karena sudah lama tertarik akan budaya dan penyakit mental serta keinginannya menemukan cara baru untuk memberikan pelayanan kesehatan mental dengan segala keterbatasan sumber daya yang ada. Ia memulai kunjungannya dengan menjalin hubungan kerja yang erat dengan Dr. Subandi, dan Dr. Carla Marchira, seorang psikiater. Bersama-sama mereka membangun sebuah tim peneliti yang merintis kajian mengenai bagaimana budaya Jawa membentuk pengalaman penyakit mental yang berat, peran tradisi pengobatan setempat dalam menangani penyakit semacam itu, pentingnya peran keluarga dalam merawat penderita gangguan mental, dan besarnya kebutuhan untuk meningkatkan layanan kesehatan mental.

mary1

Kegiatan tadi ternyata menyiapkan kami berdua dalam menghadapi krisis di Aceh setelah tsunami tahun 2004. Mulai tahun 2005, kami diundang oleh Organisasi Internasional untuk Urusan Migrasi (International Organization for Migration – IOM) untuk memberi saran tentang cara-cara pemberian pelayanan psikososial dan kesehatan mental kepada korban tsunami. Ketika Nota Kesepahaman Helsinki ditandatangani, yang mengakhiri konflik yang melanda Aceh selama hampir dua dasawarsa, IOM adalah lembaga utama dalam kegiatan-kegiatan reintegrasi pasca konflik.

Kami merancang survei skala besar tentang kebutuhan psikososial yang mendokumentasikan tingkat kekerasan traumatis yang luar biasa yang diderita oleh warga sipil Aceh selama berlangsungnya konflik yang menyebabkan tingginya Gangguan Stress Pasca Trauma (post traumatic stress disorder – PTSD) dan masalah kesehatan mental lainnya di masyarakat pedesaan. Kami membantu IOM menyelenggarakan sebuah program untuk tim dokter dan perawat Aceh yang dilatih khusus untuk terjun ke lapangan memberikan perawatan kesehatan mental di 75 desa yang terkena dampak parah konflik. Akhirnya, kami memimpin studi atas layananlayanan tadi yang menjadi bukti yang jarang didokumentasikan tentang keefektivan perawatan kesehatan mental dalam mengurangi penderitaan yang berhubungan dengan trauma dan memungkinkan mereka yang tidak berdaya karena penyakit mereka untuk pulih dan kembali ke kehidupan produktif.

Pada tahun 2011, kami mendapat hibah USAID yang memungkinkan kami untuk meneruskan program pertukaran antara Universitas Harvard, UGM, dan Universitas Syiah Kuala di Aceh untuk mengembangkan proyek-proyek yang bertujuan untuk meningkatkan pemberian perawatan kesehatan mental dalam sistem kesehatan masyarakat.

Apa yang dimulai sebagai penugasan enam bulan sebagai guru besar tamu di UGM, dengan dukungan program Fulbright, telah menyebabkan kami menjadi sangat terlibat di Indonesia selama 17 tahun. Kami berterima kasih atas dukungan Fulbright dan berharap untuk melanjutkan pekerjaan ini selama kami mampu!

Last Updated: Jun 3, 2019 @ 3:57 pm

Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 151 – 154) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.

WordPress Video Lightbox