Artikel ini awalnya muncul di kompas.id pada tanggal 15 Mei 2024.
Di pesantren kecil di lereng Gunung Merbabu, Munajat menyemai benih cinta bagi anak-anak terdampak terorisme.
ARSIP PRIBADI
Munajat
Mata Munajat sepintas menerawang saat memperlihatkan kartu keluarga dengan urutan panjang nama-nama berketerangan famili lain. Membalik lembar kartu keluarganya itu, dia seperti memutar ulang momen-momen yang mempertemukannya dengan keluarga nonbiologisnya, anak-anak korban terorisme.
”KK (kartu keluarga) saya dua lembar. Ha-ha-ha, ya biasa kalau begitu. Cuma yang masuk KK saya itu kasusnya spesial. Yang mengurus Densus (Densus 88 Antiteror Polri). Masuk KK saya, nanti di sekolah, walinya saya, tanda tangan rapor,” tutur Munajat, Rabu (24/4/2024), saat ditemui di kediamannya di Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Semua berawal pada 2019. Persinggungannya dengan anak-anak korban terorisme terjadi saat dia masih menjabat tenaga ahli Deputi V Kajian Bidang Politik, Hukum, Pertahanan Keamanan, dan HAM Kantor Staf Presiden. Oleh karena pekerjaannya itu, Munajat rutin mengunjungi panti sosial anak-anak terdampak terorisme.
Mereka yang masuk kategori anak-anak korban terorisme adalah anak-anak yang belum berumur 18 tahun serta mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana terorisme. Adapun status mereka bisa terdiri dari anak korban, anak pelaku, anak dari pelaku, ataupun anak saksi.
Dalam beberapa kali kunjungan Munajat tersebut, kebetulan, anak-anak itu sedang di ujung masa penempatan mereka di panti sosial untuk kemudian melanjutkan ke fase selanjutnya. Mereka mesti ditempatkan di keluarga baru dan membaur di tengah masyarakat.
Di situlah hati kecil Munajat terpanggil untuk membantu anak-anak itu. Apalagi, dia memang merupakan pengasuh di salah satu panti asuhan NU (Nahdlatul Ulama) di Salatiga, sebuah kota sejuk di lereng Gunung Merbabu. Munajat bersedia mengampu mereka meski tersisa sedikit gamang.
KOMPAS/HENDRICUS ARGA
Munajat
Dalam hati, dia bertanya-tanya, apakah niat baiknya akan disetujui ulama NU setempat, kolega, dan terutama keluarganya? Untuk menuntaskan kebimbangannya tadi, Munajat pun meminta persetujuan kepada Rais Syuriah NU Salatiga saat itu, KH Sonwasi Ridwan, yang juga pamannya.
Ternyata, sang paman, keluarga, dan kolega pengasuh panti asuhan setuju untuk mengampu anak-anak terdampak terorisme itu. Lega hati Munajat. Dia pun semakin mantap memboyong anak-anak ini ke panti asuhannya.
”Yang membuat saya mantap, Rais Syuriah langsung ngomong, ’Saya juga urun, ada kontribusi, jangan khawatir. Bawa anak itu.’ Istri juga oke. Kami semua mantap. Akhirnya kami bawa ke sini,” ujar peraih gelar doktoral di Texas A&M University, Amerika Serikat, tersebut.
Ketujuh anak korban terorisme itu pun akhirnya dipindahkan ke panti asuhan miliknya di Salatiga. Ibarat punya anak yang baru hadir di sebuah keluarga, dari sini, Munajat mulai merancang masa depan dan pendidikan mereka.
Langkah awal yang dikerjakannya adalah memasukkan nama mereka ke dalam kartu keluarganya. Menurut Munajat, ini menjadi bukti pengakuan negara atas keberadaan anak-anak tersebut. Hal ini juga mempermudah urusan administrasi sekaligus bukti otentik jika Munajat adalah wali sekaligus pelindung mereka.
Memecah kecanggungan
Dari situ, masalah belum selesai. Seperti layaknya bocah lain, saat pertama kali anak-anak itu tiba di panti asuhannya, mereka masih canggung. Beberapa anak malah masih ada yang berhalusinasi.
Sambil beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan panti asuhan, seperti berbagi kamar dan mengenal keluarga baru, anak-anak tersebut pun langsung bersekolah. Munajat langsung memasukkan mereka di beberapa sekolah. Anak paling kecil yang berusia sembilan tahun dimasukkan ke kelas III sekolah dasar (SD). Adapun yang paling besar disekolahkan di kelas II sekolah menengah pertama (SMP).
KOMPAS/HENDRICUS ARGA
Munajat
”Mereka semua ini, kan, sebelumnya ada yang sekolah formal dan ada juga yang tidak bersekolah atau eksklusif. Setelah kejadian terorisme, mereka tidak sekolah. Di sini, saya langsung sekolahkan di sekolah NU dan sekolah terdekat supaya mereka bisa belajar lagi,” ungkap Munajat.
Dia ingat betul pengalaman saat anak-anak ini pertama kali kembali ke bangku sekolah formal. Dia bisa melihat raut wajah bahagia dari anak-anak itu saat kembali memakai seragam sekolah. Kebahagiaan sederhana yang turut menular ke dalam diri Munajat. Satu yang cukup menyentuhnya adalah momen saat anak-anak dengan masa lalu tragis itu akan berangkat menuntut ilmu.
Mereka menghampirinya, mencium tangan lalu berpamitan ke sekolah sambil menyebut Munajat dengan panggilan ”bapak”. Kebahagiaan Munajat memuncak.
”Pagi habis subuh, habis mengaji, mereka mandi duluan. Mereka sudah pakai seragam pramuka, merah putih, atau hijau tua muda. Pukul enam sudah siap mau ke sekolah. Yang SMP naik angkot. Kayak happy, semangat. Saya juga ikut happy. Kebahagiaan begitu, itu mahal!” ucap Munajat cukup emosional.
Rencana pendidikan
Kini, lima tahun berlalu. Anak yang paling muda sudah duduk di kelas I madrasah tsanawiyah (MTs) atau setara SMP. Sementara yang paling tua pada tahun ini akan menamatkan SMK setara SMA. Munajat bahkan sudah merencanakan anak angkat tertua ini melanjutkan ke jenjang kuliah di UIN Salatiga. Kebetulan Munajat juga merupakan salah satu pengajar di tempat itu.
Tak hanya ketujuh anak korban terorisme yang pendidikannya sudah direncanakan dengan detail dari SD hingga kuliah. Pendidikan semua anak yatim piatu di panti asuhan pengelolaan Munajat yang dihuni sekitar 50 anak tersebut sudah direncanakan hingga perguruan tinggi.
Adapun secara khusus, pendidikan anak-anak terdampak terorisme dibiayai dana urunan pengasuh panti asuhan NU dan Densus 88. ”Biaya pendidikan kami bagi-bagi supaya lebih ringan. Ada juga tabungan yang utama untuk biaya pendidikan kuliah anak-anak nanti,” katanya.
KOMPAS/HENDRICUS ARGA
Munajat
Selain bersekolah formal, anak-anak terdampak terorisme di panti asuhan Munajat juga ditantang untuk punya mimpi dan cita-cita. Strategi yang dijalankan Munajat kepada anak-anak adalah menjadikan dirinya sebagai contoh nyata bagi mereka, yakni meraih pendidikan setinggi mungkin dan punya profesi yang bermanfaat bagi sesama.
Ketika berbincang dari hati ke hati dengan anak-anak tersebut, Munajat sempat terharu. Salah satu anak terdampak terorisme mengaku punya cita-cita menjadi dosen agama Islam, persis seperti dirinya. ”Alhamdulillah,” ucap Munajat saat mendengarnya.
”Selama jadi anak bapak, kamu lupakan yang lalu. Kita punya masa depan sendiri,” ucap Munajat mengulang kata-kata yang ditanamkan kepada para anak korban terorisme saat berbincang tentang cita-cita mereka. Menurut dia, selain dosen agama Islam, ada anak lain yang ingin menjadi guru, hafal Al Quran, dan juga tentara.
Hanya, kesibukan Munajat membuat dirinya tidak bisa sepanjang waktu mendampingi anak-anak terdampak terorisme. Apalagi, selain menjadi pengajar di UIN Salatiga, Munajat juga punya tugas di Kota Surakarta sebagai direktur Masjid Raya Sheikh Zayed. Masjid tersebut merupakan hadiah dari Presiden Uni Emirat Arab Mohammed bin Zayed al-Nahyan (MBZ).
Soal tanggung jawab itu, medio 2019, Munajat mendapat perintah via telepon dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk merealisasikan pembangunan masjid tersebut. Masjid di Surakarta ini menjadi replika Masjid Agung Sheikh Zayed di Abu Dhabi, UEA.
Senjata ikhlas
Kendati harus bolak-balik Salatiga-Surakarta, bagi Munajat, saat-saat bersama anak-anak terdampak terorisme di panti asuhannya menjadi momen berharga yang tak mau dia lewatkan begitu saja. Untuk itu, dia menerapkan evaluasi psikologis bagi mereka. Saat anak-anak menginjak dewasa atau SMA, atau akan lulus sekolah, Munajat akan berbicara secara pribadi ke anak tersebut.
Munajat biasanya akan bertanya, ”Bagaimana nanti kamu ke depan di masyarakat jika mereka tahu status kamu sebagai anak terdampak terorisme? Apa kamu akan marah, mengurung diri, atau bagaimana?”
Beberapa jawaban membuat Munajat terharu. Salah satunya ditirukan Munajat, ”Saya akan ikhlas masyarakat saya mengecap apa pun. Saya akan memaafkan. Saya hanya ingin kuliah, bekerja, meraih cita-cita, dan melanjutkan hidup yang baik dan bermanfaat.”
Dari jawaban mereka, Munajat pun merasa tenang jika saatnya nanti anak-anak tersebut melebur langsung di tengah masyarakat. Meskipun artinya, di sisi lain, hati Munajat akan sedih saat nama anak terdampak terorisme ini keluar dari kartu keluarganya.
Namun, Munajat menganggap semuanya sebagai siklus kehidupan. Kebahagiaan dan kebanggaannya bisa menjadi bapak asuh anak-anak dengan masa lalu terbilang kelam ini. Dia berharap, apa yang dilakukannya bisa menyejukkan dan memenuhi hati mereka dengan cinta. Bagi Munajat, anak-anak itu adalah anugerah Sang Khalik.
Munajat
Lahir: Klaten, 27 Agustus 1975
Pendidikan : MAN Program Khusus Yogyakarta
S-1 Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga, DIY
S-2 Islamic Studies, Universiteit Leiden, Belanda
S-3 Sociology: Major in Political Violence and Minor in Statistics, Texas A&M University, AS
Profesi : – Dosen UIN Salatiga
– Direktur Masjid Raya Sheikh Zayed Surakarta
Intiland Tower, Lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 32
Jakarta 10220, Indonesia
Tel : (+62) 21 5793 9085 / 86
Fax : (+62) 21 5793 9089
Office Hours : Monday – Friday, 08.00 – 17.00
The office is closed for Indonesian and US holidays
© 2024 AMINEF. All Rights Reserved.