işlek caddelere ve kafelerin olduğu kalabalık bir yere sikiş taşınmak isteyen genç çift bekar hayatı yaşadıkları porno huzurlu evlerinden daha sosyal imkanları olan bir porno izle mahalleye taşınmak isterler bu fikri sonrasında anal porno anında soyunmaya başlayan abla dediği kadını görünce yıllarca porno izle abla dememiş gibi onu tek celsede sikerek abla kardeş sex izle ilişkisine yüksek seks mahkemesinin kararıyla son brazzers verirler üvey kardeşlerin şehvetle sikiştiğini gören porno video mature ise boş durmaz ve onların bu eğlenceli ensest sikişmelerine kendisi konulu porno de dahil olur yine bir gün elinde poşetlerle eve gelir ders sex izle çalışmakta olan üvey oğluna yeni iç çamaşırlar aldığını bunları porno babasından önce ona göstermek istediğini söyler

Prof Yushinta Fujaya: Di Amerika, Kepiting Indonesia Jumpa “Sepupunya”

Prof. Dr. Ir. Yushinta Fujaya.M.Si. (Istimewa)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Prof. Dr. Ir. Yushinta Fujaya, M.Si., baru saja merampungkan program “Fulbright Visiting Research”-nya di Smithsonian Environmental Research Center (SERC), sebuah Pusat Penelitian yang terletak di kota kecil nan indah, Edgewater, Maryland, Amerika Serikat (AS). Enam bulan Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin hidup di tengah-tengah masyarakat Amerika Serikat, beradaptasi dengan kultur dan kebiasaan mereka, terutama bagaimana mereka mengelola Penelitian dan melindungi Sumber Daya Alam dan Lingkungannya.

Setiba di Indonesia, Yushinta berkenan “sharing” pengalaman yang sangat menginspirasi dengan Republiknews.co.id, pada Sabtu (18/03/2023).

  • Blue Crab vs Rajungan dan Kepiting Bakau

Dunia kepiting tidak dapat dipisahkan dengan Guru Besar Perempuan Universitas Hasanuddin yang satu ini. Selama enam bulan dia melakukan “wisata riset” ke Negeri Paman Sam itu tanpa mengeluarkan duit dari koceknya sendiri. Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan ini, penelitian (riset) adalah dunianya. Perempuan ramah ini boleh dikatakan menikmati benar dunianya.

Yushinta bercerita tentang “Blue Crab” (kepiting biru) yang merupakan topik kajiannya di Amerika Serikat. “Blue crab” adalah Sumber Daya Perikanan sangat penting dan populer di Amerika. Di mana-mana dapat ditemui souvenir-souvenir berbentuk kepiting biru, restaurant kepiting, bahkan “food truck” kepiting. Tampak, mereka benar-benar mencintai “Blue Crab”-nya. Kecintaan ini bukan hanya berasal dari kegemaran makan kepiting saja, melainkan juga kepiting telah menghidupi sangat banyak nelayan atau “Water Man” di sekitar “Chesapeake Bay” (Teluk Chesapeake).

“Blue Crab” adalah “seafood” yang bergengsi dengan harga yang mahal. Kennedy Et Al dalam buku “The Blue Crab” terbitan 2007 mengatakan bahwa “Blue Crab” disajikan untuk pengunjung dari Eropa pada awal tahun 1600-an,” kata Guru Besar kelahiran Makassar, 23 Januari 1965 tersebut.

Kegemaran terhadap “seafood” ini masih terus berlanjut hingga kini meskipun banyak dari pecinta “crab cake” mungkin tidak menyadari bahwa kepiting yang mereka makan bukan lagi “Blue Crab” asli dari perairan Chesepeake Bay atau pun dari Samudra Atlantik, melainkan dari Indonesia. Secara taksonomi, Rajungan (Portunus pelagicus) dan Kepiting Bakau (Scylla spp.) masih bersepupu dengan “Blue Crab” (Callinectes sapidus) di Amerika, mereka sama sama dari “Family Portunidae”.

Phillips Foods Inc. yang berbasis di Baltimore pertama kali ekspansi ke Indonesia pada sekitar tahun 1994. Sejak saat itu, Rajungan yang juga dikenal sebagai “Blue Swimmer Crab” menjadi populer dan banyak diburu untuk diperdagangkan. Pabrik-pabrik pengupasan dan pengalengan daging kepiting kemudian muncul di berbagai sentra penghasil rajungan.

  • Sejarah Perikanan Blue Crab di Amerika

Kennedy et al (2007) dalam Buku “The Blue Crab” menjelaskan, beberapa jurnal memberitakan tentang “blue crab”. Jurnal tertua menceritakan bahwa “Blue Crab” disajikan sebagai sarapan yang lezat kepada pengunjung dari Eropa pada 1600-an. Pada akhir 1700-an seorang pelancong Inggris mencatat, kepiting keras dan kepiting lunak adalah makanan populer di pantai Atlantik. Namun hingga seabad kemudian, kepiting ini hanya dapat dimakan di sekitar area kepiting ditangkap karena binatang laut ini sulit disimpan dalam keadaan segar atau hidup di udara terbuka, terutama pada musim hangat.

Perluasan pasar dimulai dari Chesepeake Bay melalui penerapan Inovasi teknologi seperti refrigerator, fast moving transpor seperti kereta api, juga ditemukannya “Crab pot” pada awal abad XX yang memungkinkan kepiting dapat didistribusikan ke tempat yang jauh.

Tanpa disadari, perikanan kepiting menghadapi “overfishing” (penangkapan yang berlebih). Penurunan jumlah kepiting yang didaratkan mulai terjadi di New York dan New Jersey sejak 1889 dan menyusul Chesapeake Bay. Seiring dengan berlalunya waktu, peraturan mulai diberlakukan untuk penyelamatan, misalnya dengan memberlakukan periode yang memperbolehkan menangkap kepiting, pengaturan alat tangkap yang dapat digunakan pada periode waktu tertentu. Pemberlakukan ukuran minimal, melarang memanen kepiting yang mengerami telur “Sponge Crab”.

Dari histori upaya konservasi selama 25 tahun di Chesapeake Bay menunjukkan bahwa peraturan itu umumnya diadopsi tanpa adanya bukti biologis tentang kegunaannya. Akibatnya, penurunan produksi tetap terjadi meskipun aturan sudah banyak dibuat. Hal ini diperburuk oleh penolakan dari para “crabber” (pemelihara kepiting) terhadap pembatasan penangkapan kepiting yang diberlakukan. Meskipun undang-undang tersebut dibuat dengan memperhatikan kesejahteraan sumber daya dan nelayannya, pada saat pendaratan atau tangkapan per unit upaya menyusut, penolakan besar dari para pemburu kepiting terhadap regulasi terus terjadi.

  • Program Blue Swimming Crab (BSC) Stock Enhancement untuk Indonesia

Belajar dari pengalaman Amerika mengelola kepiting biru-nya, setidaknya ada 8 poin yang perlu dipertimbangkan untuk mengelola kepiting Indonesia agar berkelanjutan:

  1. Tidak boleh menangkap kepiting betina yang sedang mengerami telur kecuali untuk pembenihan.
  2. Tidak boleh menangkap dan memperdagangkan kepiting ukuran kecil meskipun itu untuk alasan budi daya dan produksi “soft shell”, kecuali berasal dari pembenihan (hatchery).
  3. Memperbaiki habitat rajungan.
  4. Melakukan “Stock enhancement”.
  5. Menggalakkan pembenihan kepiting secara semi alami (carb bank) dan buatan (hatchery).
  6. Melakukan budi daya dari benih hatchery untuk memenuhi permintaan pasar kepiting dunia.
  7. Melibatkan akademisi yang independen dalam menyusun regulasi.
  8. Peraturan perlu diikuti dengan sosialisasi dan pengawasan.

Oleh-oleh dari Amerika Serikat untuk Indonesia dan Universitas Hasanuddin adalah kerja sama penelitian dan academik lainnya. “Memorandum of understanding” (MoU) antara Smithsonian Institution dengan Universitas Hasanuddin telah ditandatangani oleh pimpinan kedua institusi. MoU ini antara lain menyepakati berbagai kerja sama dalam bidang penelitian perikanan, akuakultur, dan ekologi untuk mengembangkan solusi dalam mendukung ekosistem dan masyarakat pesisir yang berkelanjutan di Indonesia dan AS.

Implementasi dari MoU ini akan segera diwujudkan melalui Project penelitian BSC Stock enhancement. Penelitian ini akan melibatkan peneliti dari SERC, Institute of Marine and Environmental Technology (IMET) yang berkedudukan di Baltimore dan Universitas Hasanuddin. Puluhan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) akan dilibatkan dalam penelitian ini.

Projek penelitian ini disponsori oleh “National Fisheries Institute” (NFI), suatu organisasi nirlaba dari para pengusaha “seafood” di dunia yang mendedikasikan diri pada pendidikan untuk keamanan, keberlanjutan, dan nutrisi makanan laut. Penelitian ini akan dilakukan secara bertahap dengan tujuan utama membangun model stock “enhancement” yang bertanggungjawab dan dapat diaplikasikan di perairan-perairan yang memerlukan peningkatan “stock”.

“Diharapkan, kegiatan ini akan membantu memulihkan kondisi populasi rajungan yang semakin menurun akibat penangkapan berlebihan, “ kunci Prof. Dr. Ir. Yushinta Fujaya.M.Si.

Last Updated: Mar 28, 2023 @ 1:45 pm
WordPress Video Lightbox