Andrew Weintraub, pengajar pada departemen musik etnik di Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, mulai mengajarkan dangdut setelah mendapat kesempatan meneliti dan kemudian menulis disertasi tentang jenis musik melayu ini.
Pertama datang ke Indonesia tahun 1984, Weintraub mendapat beasiswa untuk meneliti musik sunda dan wayang purwa untuk studi tingkat master. Pada studi doktoralnya, Weintraub kembali ke Indonesia untuk sebuah penelitian lain mengenai wayang golek, yang kemudian ditelurkan dalam sebuah buku berjudul Dangdut Stories.
“Pada dua kesempatan itu saya mulai mendengar dangdut, saya suka. Waktu itu masih identik dengan musik kelas rendah,” kata pria berkepala plontos ini saat diwawancara untuk program Info Musika BBC Indonesia.
Dari persinggungan beberapa kali, ia kemudian mulai mengoleksi kaset (terutama saat keping cakram belum banyak dipakai industri rekaman) dan bahkan belajar memainkan irama dan sekaligus lirik lagunya.
“Saya suka Rhoma Irama, A Rafiq, Mansyur S, Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, Meggy Z,” katanya.
Daftar penyanyi itu bisa sangat panjang karena pengetahuan Weintraub tentang dangdut sangat mendalam.
Setelah meraih gelar professor, Weintraub kembali untuk riset khusus tentang jenis musik ini untuk menulis Dangdut Stories yang lima tahun kemudian pada 2005 diterbitkan Oxford University Press.
“Ada sedikit sekali literatur akademik tentang dangdut, saya hanya berhasil menemukan ada satu bukan lain tentang dangdut dari Australia tapi karya orang Indonesia juga,” tambahnya.
Dalam upaya memahami, menggali dan meneliti itu Weintraub kemudian membentuk pula sebuah grup dangdut asli Pittsburgh yang diberi nama, apalagi, Dangdut Cowboys.
“Kami sering dapat undangan manggung lho, kalau ada acara-acara Indonesia di Washington atau di tempat lain,” tambahnya bangga.
‘Asli’ Indonesia
Pendeknya, Weintraub habis-habisan menekuni dangdut. Meski buku dan keahliannya bermain dan menyanyikan dangdut menjadi bagian penting dari pekerjaannya sebagai profesor ia mengaku benar-benar menyukai dangdut.
“Genuinely love dangdut. Saya merasa musik ini enak, bagus, sangat mewakili Indonesia,” pujinya.
Teori ini pula yang kemudian membuat Weintraub cukup terkenal. Jika umumnya orang menyebut dangdut berasal dari India atau Timur Tengah, maka pria berusia diatas setengah abad ini yakin dangdut lah jenis musik yang layak disebut asli Indonesia.
“Tentu ada pengaruh dari India, atau Timur Tengah atau dari mana saja, tetapi dangdut dikembangkan oleh orang lokal sampai ke pelosok Indonesia.”
Begitu merasuknya cita rasa dangdut dalam jatidiri orang Indonesia, maka kemudian muncul berbagai varian dangdut terutama di daerah. Dangdut pun disuarakan dalam beragam suara, hampir sekaya nuansa bahasa daerah Indonesia sendiri.
“Misalnya ada dangdut koplo, dangdut Batak, dangdut Jawa, macam-macam banyak sekali,” jelasnya.
Dangdut yang dipandang sebagai musik kaum marjinal dari kalangan ekonomi bawah juga dipandang sesuai dengan identitas Indonesia setidaknya sampai saat ini.
“Bukankah mayoritas orang Indonesia memang kalangan menengah bawah? Itu cocok dengan massa dangdut.”
Dangdut dan blues
Weintraub kini mengajarkan dangdut sebagai bagian dari mata kuliah musik Indonesia, yang mulai diajarkan di sejumlah universitas AS.
Ini bukan pertama kalinya jenis musik asal Indonesia dipelajari sebagai kajian akademik serius di negara Paman Sam itu. Program Studi gamelan misalnya menurut Weintraub dibuka di sekitar seratusan universitas di sana.
“Amerika terobses dengan gamelan. (Tapi) sekarang juga mulai banyak yang suka dengan dangdut,” tambahnya bangga.
Beberapa mahasiswa di Pittsburgh pernah punya grup dangdut sendiri meski kemudian bubar sehingga mungkin kini Dangdut Cowoys satu-satunya yang masih tersisa di sana.
“Saya berharap nanti akan ada program studi dangdut juga di Amerika,” tambahnya sambil tergelak.
Apakah dia sendiri merasa dirinya terosesi dengan kesukaannya pada dangdut?
“Mungkin untuk menulis buku Anda harus menggeluti tiap sisinya dan tidak akan bisa kalau tidak terobsesi.”
Tetapi ayah satu anak yang sudah remaja ini merasa upaya mendekatkan masyarakat Amerika atau asing mana pun pada dangdut agak terhambat pada soal bahasa pengantar. Tanpa tahu maksud lirik, dangdut akan sulit diresapi sepenuhnya.
Karena itu kemudian ia mencoba mengintepretasi ulang beberapa lagu karya Rhoma Irama, misalnya Gelandangan menjadi senuah lagu dangdut bernuansa blues.
Liriknya yang melarat-larat dan sarat kesengsaraan menurutnya sangat mirip dengan isi pesan protes ala blues.
“Dengan begitu, saya kira membawa publik Amerika atau Eropa pada dangdut akan lebih mudah daripada harus memaksa mereka memahami bahasa Indonesia.”
This article originally appeared in BBC News Indonesia on May 10, 2013
Andrew N. Weintraub was a 1993 Fulbright-Hays DDRA grantee and 2006 Fulbright US Scholar.
© 2025 AMINEF. All Rights Reserved.