Alumni & Voices

Putu Wijaya

ORIENTASI PADA HASIL

“Kalau dua orang Bali menggali terowongan, dari dua ujung yang berbeda, mereka akan bertemu di tengah, bukan karena perhitungan yang matang, tetapi karena saling memahami dan menghayati proses kerja bersama. Sebaliknya, kalau dua orang Amerika berhasil meraih sesuatu, hal itu berkat dari penelitian dan perencanaan yang seksama.”

Itulah keyakinan I Gusti Ngurah Putu Wijaya, sarjana hukum yang lebih dikenal sebagai sutradara, novelis, cerpenis dan teaterawan Indonesia terkemuka.

“Sebelum ke Amerika, saya mengelola teater secara alamiah. Yang penting adalah kebersamaan, saling memperhatikan, kekompakan untuk berproses bersama. Dari pengalaman bersama teman-teman di Amerika, saya kemudian mengenal manajemen dan perencanaan.”

Jadi, berkah terindah dari pengalamannya mengikuti program Fulbright adalah mengenal kerja yang sistematis dengan orientasi pada hasil. Bagi Putu dan kebanyakan orang Indonesia yang terpenting adalah orientasi pada proses. Di Amerika hal itu kurang dipahami. Segala sesuatu harus direncanakan dan dianggarkan. Pernah pada suatu pementasan, Putu meminta agar di panggung disediakan bunga. Permintaan itu ditolak, karena selama persiapan dan latihan, tidak pernah ada bunga.

“Ide untuk menambahkan bunga itu memang muncul belakangan. Dan itu tidak bisa mereka terima karena dalam rapat dan perencanaan tidak pernah disebutkan,” katanya. Diamdiam Putu mengumpulkan sisa kertas bungkus dari makanan cepat saji yang berwarna kuning. Kertas itu dibentuk seperti kembang dan ditaruh di panggung. Ternyata tidak jadi masalah, karena pada akhirnya dapat diterima dengan baik oleh pemain maupun penonton.

Indonesia perlu banyak belajar tentang manajemen teater dari Amerika. Sebaliknya, Amerika perlu belajar berpikir fleksibel dan bertindak luwes pada Indonesia. “Seorang stage manager atau penata panggung di Amerika tidak diperbolehkan ikut main. Ia hanya bertanggung jawab atas panggung. Padahal, kalau diperlukan dan dilatih dengan baik, seorang penata panggung juga bisa merangkap sebagai pemain.” Putu mengatakan, bahwa meskipun menentang aturan, hasilnya tetap bagus. Bahkan ada penghayatan lebih menyeluruh.

Belajar menghayati proses bersama, juga satu hal yang dapat diajarkan pada rekan Amerika. “Di sana, kalau belum sampai ke bagiannya, seorang pemain tidak merasa perlu ikut latihan. Sedangkan bagi orang Indonesia, ada atau tidak ada peran yang dimainkan, setiap anggota yang akan pentas mengikuti latihan detik demi detik. Meskipun bukan bagiannya, semua ikut menghayati prosesnya.” Satu hal lagi yang istimewa, Amerika mengajarkan kita menghargai isi lebih dari kemasan atau bentuk luarnya. Mahasiswa berpakaian bebas, tidak perlu memakai seragam. Yang penting belajarnya serius.

“Dulu sering terdengar anggapan orang Amerika individualistis, kurang kekeluargaan. Nyatanya, saya pernah dititipi anak seharian. Pagi-pagi, orangtuanya datang, titip anak karena ada urusan penting ke luar-kota. Meskipun sebetulnya kami belum terlalu saling mengenal, mereka percaya saja meninggalkan anak pada kami,” cerita Putu.

Yang paling utama dalam penyelenggaraan program Fulbright adalah pemilihan pesertanya. “Kalau yang dipilih tepat, satu orang bisa mewakili seribu orang. Tetapi kalau pilihannya keliru, kurang efektif jadinya.” Putu percaya, baik yang pergi ke Amerika dari Indonesia, ataupun sebaliknya, mereka adalah duta-duta kecil bangsa.

Last Updated: Jun 3, 2019 @ 4:15 pm

Artikel ini tampil di buku DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Memperingati Ulang Tahun 60/20 Fulbright dan AMINEF (halaman 168– 170) yang diterbitkan pada tahun 2012 memperingati ulang tahun ke-20 AMINEF dan ulang tahun ke-60 Fulbright di Indonesia.

Judul asli adalah Across the Archipelago, from Sea to Shining Sea Commemorating the 60/20 Anniversary of Fulbright and AMINEF. Penerjemah: Sagita Adesywi dan Piet Hendrardjo.

WordPress Video Lightbox