Sepenggal Cerita Magang di Voice of America (VOA)

Virginia Listyani Gunawan adalah penerima beasiswa Fulbright Master’s Degree Program, bidang studi Multiplatform Journalism di New York University tahun keberangkatan 2014.

Pak Michael dengan sangat antusias bercerita tentang proses pembuatan batik. Dari proses desain dan pemilihan warna, cap atau tulis, pewaranaan berkali-kali, pengeringan, hingga pembuangan limbah. Tidak jarang ia menyelipkan frase Indonesia sederhana namun tidak akan dimengerti bule yang tidak pernah berinteraksi dekat dengan orang Indonesia. Bahasa tubuhnya seolah terbiasa dengan budaya Jawa Tengah, ngapurancang—berdiri dengan tangan didekap di depan bawah perut—dan ia menunjuk dengan jempolnya. Istrinya, Bu Debra pun tak kalah bersemangat, namun tetap halus, ketika menjelaskan tentang batik koleksinya. Siapa sangka di Lancaster, Ohio, kota kecil berpopulasi tidak sampai 40 ribu orang, sebuah toko sederhana dengan studio bawah tanahnya, memperkenalkan motif dan filosofi batik kepada masyarakat Amerika.

Ketika memutuskan untuk magang di Voice of America Indonesian Language Service, saya pikir saya akan dengan sangat mudah melakoninya. Apa yang menantang dari melaporkan cerita tentang budaya Indonesia yang sudah saya pahami sepenuhnya? Apa yang menarik dari menceritakan tentang perantauan Indonesia di Amerika? Semua sama saja, kan?

Saya memulai magang dengan asumsi yang sangat dangkal dan mengeneralisasi perjuangan mereka. Namun saya salah. Salah besar.

Saya magang di VOA di Washington, DC ketika liburan musim panas selama dua setengah bulan. VOA bukan sesuatu yang baru bagi saya. Sejak SMP, saya mengikuti beberapa program reguler di televisi lokal Jawa Timur dan berandai-andai untuk bersekolah di Amerika suatu saat nanti.

Mungkin ada yang tidak mengetahui bahwa VOA adalah institusi penyiaran federal yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat. Ketika awal dibentuk, VOA berfungsi sebagai kontra-propaganda pada saat Perang Dunia II dan Perang Dingin. Mengikuti perkembangan zaman, VOA berubah fungsi menjadi sarana public diplomacy untuk memperkenalkan Amerika Serikat ke negara lain.

Jangan heran jika tidak banyak masyarakat Amerika Serikat yang mengetahuinya karena VOA memang tidak bersiar di Amerika. Saat ini, ada 45 layanan bahasa asing di VOA dengan Mandarin sebagai layanan bahasa asing terbesar. Bagi negara yang tingkat kebebasan persnya masih sangat rendah, seperti China, Rusia dan Burma, kehadiran VOA banyak membantu masyarakat negera tersebut untuk memperoleh perspektif alternatif tentang pemerintah atau rezim yang berkuasa.

Periode magang saya bertepatan dengan bulan Ramadan sehingga tidak sulit bagi saya untuk menemukan topik yang bisa dengan mudah diterima masyarakat Indonesia. Cukup mengejutkan ketika saya mendapati begitu banyak kegiatan Islami yang digelar masyarakat Muslim, baik African American¸Timur Tengah, Asia Selatan, dan Indonesia sendiri. Dan jika boleh berpendapat, toleransi yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim pun cukup tinggi sehingga saya mempertanyakan impartialitasmainstream media Amerika Serikat.

Namun, tantangan muncul ketika harus menemukan topik dan narasumber di Amerika yang menarik bagi penonton Indonesia. Untuk masalah ini, saya sangat bersyukur bisa dihubungkan dengan teman-teman Fulbrighter Indonesia yang terkoneksi dengan baik dan selalu siap menolong. Beberapa narasumber di luar Washington, DC merupakan rekomendasi dari teman-teman Fulbright yang masih menjaga kedekatannya dengan Indonesia.

Dari sanalah perjalanan saya mengenal kembali ke-Indonesia-an saya dimulai. Setelah hampir setahun menjalani kehidupan perkuliahan yang cukup individualistis, saya kembali ke akar saya dan belajar tentang Indonesia yang tidak dibatasi Sabang sampai Merauke saja.

Ketika saya bertemu dengan seorang dosen etnomusikologi di Dayton University yang belum pernah mengunjungi Indonesia namun begitu fasih membahasakan musik lewat gamelan. Ketika saya ikut buka puasa bersama dengan Mualaf yang menemukan keyakinan barunya mereka dengan bantuan saudara seiman dari Indonesia. Ketika saya mengunjungi toko teh milik perempuan Bandung yang menjadi tempat nongkrong favorit di komunitasnya. Ketika saya bertemu imigran gelap yang melarikan diri pada saat terjadinya peristiwa kerusuhan 1998. Ketika saya memahami perjuangan saudara setahan air saya yang menjadi minoritas dan membela kebenaran keyakinan mereka, di tanah asing yang mungkin tidak seramah rumah.

Ketika itu saya memahami bahwa tidak ada cerita cinta yang sama untuk Indonesia.

Magang di VOA mengingatkan saya akan kekaguman saya terhadap Indonesia yang kompleksitas budayanya diakui bule-bule Amerika. Walaupun terdengar klise, namun saya bangga akan keragaman yang dipersatukan satu bahasa, yang menyapa hangat dengan hanya berkata, “Halo, apa kabar? Dari Indonesia juga ya?”

***

Virginia Gunawan (Jini) asal Surabaya, Jawa Timur adalah grantee Fulbright Master’s Degree Program yang saat ini kuliah di New York University jurusan Jurnalistik.

Berikut ini salah satu video liputan Jini bersama VOA:

Last Updated: Mar 31, 2024 @ 1:31 pm
WordPress Video Lightbox