“Saya datang ke Indonesia tahun 1982 atas bantuan Fulbright, untuk meneliti pola kehidupan keluarga di Madura. Meskipun bukan merupakan bagian dari rencana semula, akhirnya saya tinggal lebih dari satu tahun pada sebuah keluarga yang mcmpunyai pesantren, di pinggir kota Sumenep. Mereka menjalin hubungan erat dengan jaringan para pemimpin agama di seluruh Madura, dan mengizinkan saya memakai rumahnya sebagai pangkalan selama saya menjalankan penelitian.
“Saya meneliti hubungan mereka dengan pesantren lain dan mcncoba mcmahami hubungan antarsantri di situ. Akibatnya, saya mengbabiskan banyak waktu untuk mengunjungi desa-desa tempat asal para santri tersebut. Seringkali saya diundang untuk menghadiri berbagai acara keagamaan. Saya juga mencatat beberapa sejarah lisan dari sejumlah orang. Sebagai antropolog saya menggunakan teknik yang diseut ‘observasi terlibat.’ Dengan perkataan lain, untuk sejenak saya menjadi bagian masyarakat, tetapi juga tetap menjadi pengamat yang tidak berpihak dan tidak terlibat. “Dari satu perkara timbul perkara lain. Suami saya, juga antropolog, mendapat pekerjaan di Timor Barat, dan kemudian saya dikontrak untuk melakukan studi mengenai proyek irigasi AID yang sedang bcrjalan. Sekarang saya bekerja di Jakarta pada Ford Foundation, dan mengurus proyek-proyek pengelolaan air dan irigasi di seluruh negeri.
“Sejak penelitian Fulbright saya sendiri, saya mendapat kesempatan ikut dalam beberapa panitia seleksi AMINEF, mewawancarai para calon Indonesia untuk program Fulbright. Tentu saja saya ingin lebih banyak dana yang disediakan bagi program Fulbright. Dan saya kira, saya juga ingin lebih banyak perhatian diberikan untuk merekrut calon-calon yang memenuhi syarat dari daerah di luar Jawa. Pada umumnya, saya yakin bahwa investasi pendidikan yang bermutu scperti ini sangat berharga. Pendidikan di luar negeri akan terbukti sangat berharga dalam jangka panjang. Dan itu tentu saja tidak hanya pendidikan di Amerika Serikat.”