Nama saya Zul, dan saya sedang menjalani studi di jurusan new media di Sinclair College yang berlokasi di Dayton, Ohio, Amerika Serikat melalui program beasiswa Community College Initiative (CCI) Program.

Tahun ini, saya merayakan Ramadan pertama saya di Amerika Serikat, dan pengalaman ini benar-benar memberi saya banyak perspektif baru dalam melaksanakan ibadah puasa.

Salah satu perbedaan yang cukup mencolok yang saya rasakan selama menjalani puasa itu disebabkan oleh cuaca. Biasanya, di Indonesia, saya sering merasakan dehidrasi atau tenggorokan kering karena cuaca yang panas. Namun, selama bulan Ramadan ini, saya merasa lebih nyaman karena saat ini kami berada dalam masa transisi antara musim dingin dan musim semi, sehingga cuacanya tidak terlalu panas. Saya merasa lebih nyaman dan tidak terlalu terpengaruh oleh dehidrasi atau rasa haus.

Selain itu, jadwal sahur dan berbuka puasa juga berbeda. Waktu imsak saat awal puasa sekitar pukul 06.40 pagi, dan waktu berbuka puasa adalah sekitar pukul 07.41 malam. Di akhir Ramadan nanti, waktu imsak sekitar pukul 05.50 pagi dan waktu berbuka puasa pukul 08.10 malam. Durasi puasa di sini lebih panjang karena adanya perbedaan jadwal matahari terbit dan tenggelam antara Amerika Serikat dan Indonesia. Namun, saya merasa bahwa hal ini menjadi tantangan yang menarik dan memberi kesempatan bagi saya untuk lebih mengeksplorasi kesabaran dalam menjalankan ibadah puasa.

Selama Ramadan di Amerika Serikat, saya juga mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan umat Muslim dari berbagai negara lainnya. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya, karena saya dapat belajar tentang tradisi dan budaya Ramadan dari sudut pandang yang beragam. Berbagi pengalaman dan cerita dengan sesama Muslim dari berbagai latar belakang juga memperkaya pemahaman saya tentang makna sebenarnya dari bulan Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah.

Pengalaman menarik saya lainnya berhubungan dengan takjil. Di Indonesia, tradisi berburu takjil menjelang berbuka puasa adalah sesuatu yang sangat khas. Jalanan dipenuhi dengan penjual berbagai jenis makanan dan minuman manis. Hal tersebut tidak berlaku disini. Suasana di jalanan maupun pusat perbelanjaan berjalan normal. Tidak ada yang menjual takjil seperti di Indonesia.

Namun, pengalaman baru bagi saya di sini adalah seringnya berbuka puasa di masjid. Berbeda dengan di Indonesia, di mana kebanyakan orang berbuka puasa di rumah atau ngabuburit dengan teman-teman, di Amerika Serikat, masjid menjadi pusat kegiatan berbuka puasa. Meskipun terasa sedikit berbeda dari ngabuburit bersama teman-teman di Indonesia, tetapi berbuka puasa di masjid di sini memberikan nuansa kehangatan dan kebersamaan yang tak kalah berkesan.

Satu hal yang saya suka, masjid-masjid di sini menyediakan kurma, susu, dan buah-buahan sebagai takjil, dan setelah salat Maghrib juga terdapat makan malam yang enak-enak dan dapat dinikmati dengan gratis.

Salah satu momen lucu yang saya alami ketika saya pertama kali berbuka puasa di masjid adalah ketika saya dan teman saya terlalu antusias mencicipi semua takjil yang disediakan, sehingga ketika waktu salat Maghrib tiba, perut saya sudah terasa sangat kenyang. Ternyata, berbuka puasa di Amerika Serikat memang menghadirkan pengalaman yang berbeda.